Apresiasi PUISI


BAB I
HAKIKAT PUISI

Ada empat ragam karya sastra, yaitu puisi, prosa, prosa liris, dan drama. Sebagai karya sastra, puisi merupakan bentuk yang paling awal dan paling banyak ditulis. Menurut B. Rahmanto (1988:34), karya sastra yang paling awal ditulis oleh manusia adalah puisi, seperti Mahabarata dan Ramayana. Selain itu, drama-drama Shopocles (Oedipus Sang Raja, Oedipus di Kolonus, dan Antigone) dan drama-drama William Shakespeare (Hamlet, Macbeth, dan Romeo dan Juliet) merupakan karya sastra yang berbentuk puisi. Puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan di beri irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Walaupun singkat atau tidak, namun berkekuatan. Karena itu, salah satu usaha penyair adalah memilih kat-kata yang memiliki persamaan bunyi (rima). Kata-kata iyu mewakili makna yang lebih luas dan lebih banyak. Karena itu, kata dicarikan konotasi atau makna tambahannya dan dibuat bergaya dengan bahasa figuratif.
A.    Perbedaan Puisi dengan karya sastra lain.
Pada dasarnya karya sastra adalah wujud permainan kata-kata pengarang berisikan maksud tertentu yang akan disampaikan kepada penikmat sastra. Pembagian sastra yang telah dikenal ada tiga yaitu prosa, puisi dan drama. Semua jenis sastra itu menggunakan kata-kata yang indah supaya menarik. Sugono (2003:159) mendefinisikan puisi, prosa dan drama adalah sebagai berikut :
1.      Puisi adalah jenis sastra yang bentuknya dipilih dan ditata dengan cermat sehingga mampu mempertajam kesadaran orang akan suatu pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat bunyi, irama dan makna khusus.
2.      Prosa adalah jenis sastra dengan pentuk parakraf yang bebes menggunakan katya-kata yang diinginkan pengarang. Prosa lebih dikenal dengan cerita kehidupan dan bahasa prosa sangat dekat dengan bahasa sehari-hari.
3.      Drama adalah jenis karya sastra yang bertujuan menggambarkann kehidupan lewat lakuan dan dioalog (cakapan) para tokoh. Lazimnya dirancang untuk pementasan di panggung.
Berdasarkan jenis sastra di atas, jelas bahwa bahasa prosa dan drama lebih dekat dengan bahasa sehari-hari (denotatif), sedangkan puisi lebih cenderung memakai bahasa konotatif. Wapaupun bahasanya dekat dengan bahasa umum/sehari-hari, prosa dan drama tetap memakai diksi yang minimbulkan kesan dan efek kepada pembaca. Bahasa dieksploitasi dan dipermainkan sedemikian rupa sehingga menarik dan mampu mengungkapkan pengalaman tertentu yang ingin dituangkan sastrawan dalam karyanya.
Prodopo (1995:11) menjelasakan bahwa prosa dan puisi hanya dibedakan kadar kepadatannya. Yang padat disebut puisi, sedangkan yang tidak padat disebut prosa. Berdasarkan kepadatan itulah seringkali ada prosa yang dikatakan puitis, yaitu prosa yang memiliki sifat puisi, dan ada pula puisi yang disebut prosais (puisi yang tidak padat, menyerupai prosa). Perbadaan prosa dan puisi itu bukan perbedaan bahannya, melaikan perbedaan aktivitas kejiwaan. Perbedaan puisi dan prosa berdasarkan aktivitas kejiwaan dapat dilihat dalam table berikut :
No.
PUISI
PROSA
1.
Memadatkan (kondensasi)
Menyebar (disperse)
2.
Sugestif dan asosiatif
Bercerita (informatif)
3.
Ekspresi kreatif (mincipkakan kata-kata)
Sifat ekspresi konstantif (menyebarkan kesan-kesan dari ingatan)
4.
Kata-kata tidak keluar dari simpanan ingatan, melaikan kata-kata dalam puisi dilahirkan (dibentuk). Kata sama dengan pikiran.
Sifat kreatif proasa hanya terlihat pada rencana dan pelakasanaannya, kata-kata/bahan-bahan telah tersedia. pengarang hanya menyusun ulang.
5.
Menyatakan sesuatu secara tidak langsung
Menyatakan sesuuatu secara langsung.
6.
Pencurahan jiwa yang bersifat liris (emosional) dan ekspresif
Pengungkapan gagasan yang bersifat epis atau naratif
7.
Seringkali isi dan kalimat-kalimatnya bermakna konotasi
Pada umumnya bermakna denotasi, walaupun memang ada beberapa karya yang isinya konotasi.

Sekarang semakin jelas perbedaan antara puisi dan prosa. Bahkan sama yaitu kata-kata dan bahasa, yang membedakan  adalah ciptanya atau aktivitas kejiwaannya. Cirri puisi lebih mengutamakan intuisi, imajinasi, dan sintesa dibandingkan dengan prosa yang lebih mengutamakan pikiran, konstruksi dan analisi (Grace, dalam Sayuti, 1985:14).
Contoh karya sastra puisi, prosa dan drama :
DI MEJA MAKAN

Ia makan nasi dan isi hati
pada mulut terkunyah duka
tatapan matanya pada lain sisi meja
lelaki muda yang dirasa
tidak lagi dimilikinya.
Ruang diributi jerit dada
Sambal tomat pada mata
meleleh air racun dosa.

dipeluknya duka earat-erat
dikurung pada bisu mulut
dan mata pijat warna kesumba.

Lelaki depannya mengisar hati
-sudah lama.

Terungkap rahasia diperam rasa
terkunci pintu hati, hilang kuncinya
-sudah lama.

Ia makan nasi dan isi hati
pada mulut terkunyah duka
memisah sudah sebagian nyawanya
di hati ia duduk atas keranda.

Lalu ditutup matanya gabak
gambaran yang digengnam olehnya:
lelaki itu terhanatar di lantai kamar
pisau tertancap pada punggungnya.

(Ballada Orang-orang Tercinta, W.S. Rendra)

LAILA MAJNUN

Di dalam taman,  pepohonan dihiasi oleh senyuman bunga-bunga, sementara mawar  kuning dan tulip merrah berkirbar seperti bendera di udara. Bunga violet menukik-nukik turun dan melambai-lambai, bertumpu pada batangnya yang panjang melengkung, seolah-olah berusaha untuk bersembunyi satu sama lain. Semak mawar mengacungkan pedang berdurunya kelangit, siap untuk bertempur. Sementara lili air beristirahat untuk sesaat dari kesibukan, merebahkan perisainya di keheningan danau. Bunga bakung membuka matanya, sementara pohon cemara menyisiri dahanya ……………. Dan pada puncang tertinggi pohon ara bertengger seekor burung bulu-bulu, seekor Majnun dari jenis burung, menyenandungkan kidung-kidung cintanya.
            Laila telah datang ke ddalam taman utuk menikmati nyayian burung serta bercengkerama di antara bunga-bunga, bagaikan bidari cantik yang menghiasi taman surga ……………….

(Laila Majnun, Nizami, terjemahan Dede Aditya)


TUHAN MASIH BAIK HATI
(Karya Dhikka Perguri)

Suasana menunjukkan teras rumah. Meja kursi tertata sedemikian rupa sehingga tampak bahwa itu teras rumah pedesaan. Mbendol, sedang sibuk mengutak- atik nomor togel. Juminten, istrinya,  sedang memarut kelapa untuk jualan esok hari, sedangkan Pakde masih setia mengisi TTS sambil menghisap kreteknya dalam-dalam.

Mbendol : “E…dari dulu angka cuma sepuluh, dari nol sampai sembilan. Lha
                   milih empat angka saja kok susah. Cuma empat angka!”
Pakde     : “ Lha sudah tahu nggak pernah klop… nggak pernah cocok… kok masih diulangi”
Mbendol  : “ Namanya saja pengarep-arep, Pakde….(dengan nada putus asa).   Katanya suruh prihatin, puasa tiga hari tiga malam, berdoa…sampai ndower, tetap saja nggak dapat wangsit”.
Juminten : “ E… Yang bener. Berdoa kok minta nomor. Tuhan kok diajak dosa"
                       ( secara spontan Mbendol menoleh sambil melotot)
Mbendol  : “ Bukannya aku mengajak dosa sama yang kuasa, tapi meminta… mohon   pengarep-arep khan nggak apa-apa, namanya saja usaha…”
Pakde      :” Mohon pengarep-arep, harapan… itu memang baik, orang hidup tanpa pengharapan itu baik sebab orang hidup tanpa pengharapan itu sama  saja dengan orang mati.”.
Mbendol  : “ Nah… apik to?”
Juminten : “ Lha kalau yang jadi pengharapan itu  nomor buntut,  …gimana?”
Mbendol  : “ E… jangan salah, Tuhan punya berjuta jalan untuk memberi rezeki, lha  aku kan cuma minta nomor buntut.  Cuma salah satu jalan. Nanti kalau nembus… 20 persen untuk sedekah deh.”
Juminten : “ We lha malah nggak sopan, akan ngasih sedekah hasil nomor togel”.
Mbendol  : “Bukan nggak sopan, tapi rasa syukur…, terima kasih. Kalian
                    mungkin merasa kecewa kalau membeli nomor itu dosa”.
Juminten :   Ya jelas kecewa! Wong tiap hari uang jatahku berkurang gara-gara untuk beli togel, kok. Lha daripada buat beli togel rak lebih baik ditabung, untuk beli kebutuhan rumah tangga, buat mbayar LKS-nya Kelik, atau buat beli kambing”
Mbendol :   Lho, kalau ini nanti nembus, kamu mesti aku beri banyak buat beli kebutuhan rumah tangga. Kamu bisa beli baju atau televisi. Pemikiran itu rak ya bagus tho Pakde?”              
Pakde     : “ Ya, bisa saja. Itu kan juga rezeki.”
      Juminten: “ We lha… Pakde itu gimana to, malah memberi dukungan. Apa Pakde mau ikut  beli juga?”
      Pakde     : “  Weleh-weleh, jangan salah sangka dulu. Pakde tidak akan ikutan beli!  Buat beli rokok saja masih harus pikir-pikir mbok wedok bisa masak apa enggak, kok malah beli togel”.
Juminten :” Lha itu tadi, Pakde setuju sama Mbendol”
Pakde      : “ Setuju bukan terus melu”.
Juminten  :” Ah…terserah…kayak gitu kok dipikir, yang penting daganganku besok laris… beres”.

B.  Macam-macam Definisi Puisi.
Beberapa definis puisi menurut para pakar :
1.      Waluyo (1995:23)
Puisi merupakan bentuk kesusasteraan yang menggunakan pengulangan suara sebagai ciri khasnya. Pengulangan kata tersebut menghasilkan rima, irama atau ritme.Menurut Tarigan (1984:4), kata puisi berasal dari bahasa Yunani ”poeisis” yang berarti penyair. Sedangkan dalam bahasa Inggris, puisi disebut dengan istilah poem yang berarti syair atau sajak. Arti ini lama-kelamaan dipersempit ruang lingkupnya menjadi ”hasil sastra yang kata-katanya disusun menurut syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak, dan kata-kata kiasan”.
2.      Watts Dunton (dalam Tarigan,1984:5)
Puisi adalah ekspresi yang konkret dan bersifat artistik dan pikiran manusia secara emosional dan berirama.
3.      Lascelles Abercramble (dalam Tarigan,1984:5)
Puisi adalah ekspresi dan pengalaman imajinatif, yang hanya bernilai atau berlaku dalam ucapan atau pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang diutarakan dengan bahasa, yang mempergunakan setiap rencana yang matang dan bermanfaat
4.      S. Suharyanto (1981:12)
Pendapat Watts Dunton dan Lascalles Abercramble itu sejalan dengan pendapat, yang menyatakan bahwa puisi tidak lain merupakan pengungkapan kembali segala peristiwa atau kejadian yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari.
5.      Rachmat Djoko Pradopo
Puisi adalah karangan terikat, sedangkan prosa adalah karangan bebas. Dalam pengertian lama, puisi terikat oleh aturan  pembarisan, pembaitan, periodus atau bagian baris, serta pola rimanya.
6.      Putu Arya Tirtawirya (1980:9)
Mengatakan bahwa puisi merupakan ungkapan secara implisit dan samar, dengan makna yang tersirat, di mana kata-katanya condong pada makna konotatif.
7.      Herman J. Waluyo
Mendefinisikan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya.
8.       Wirdjosoedarmo
Puisi adalah karangan yang terikat oleh:
a.       banyak baris dalam tiap bait,
b.      banyak kata dalam tiap baris,
c.       banyak suku kata dalam tiap baris,
d.      rima,
e.       irama. 
            Dari pendapat-pendapat para ahli di atas, dapatlah disimpulkan bahwa puisi merupakan karya seni imajinatif berbentuk sajian bahasa yang bernilai dan disusun dengan memerhatikan irama, rima, dan kata-kata perlambangan. Pada umumnya, puisi ditulis dalam bentuk baris-baris yang disatukan menjadi bait-bait.
            Pengertian ini memang dapat dicirikan dari puisi-puisi lama Indonesia, seperti pantun, syair, serta puisi-puisi yang banyak dibuat periode Angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru.
Perhatikan contoh puisi berikut:
Syair :
Tidak jauh di tepi kota
Sebuah kampong kelihatan nyata
Disinari bulan semua rata
Di sinilah asal pokok cerita
                       
Pantun :
            Kalau ada kembang baru
            Bunga kenanga  dikupas jangan
            Kalau ada kawan yang baru
            Kawan yang lama dibuang jangan

Puisi :
SAWAH
Sawah di bawah emas padi
Padi melambai, malai terkulai
Naik suara salung serunai,
Sejuk didengar. mendamaikan kalbu.

Sungai bersinar, menyilaukan mata
Menyemburkan buih warna pelangi
Anak mandi bersuka hati
Berkejar – kejaran, berseru gempita.

Langit lazuardi bersih sungguh,
Burung elang rnelayang layang,
Sebatang kasa dalarn udara

Desik berdesik daun buluh,
Dibuai angin dengan sayang,
Ayam berkokok sayup suara
         Karya : Sanusi Pane

Namun, sejalan dengan perkembangan sastra, pengertian puisi sebagai karya sastra yang terikat oleh pembarisan, pembaitan, rima, dan periodus tak lagi bersifat mutlak. Para penyair Indonesia Angkatan 45 dan sesudahnya banyak mencipta puisi tanpa memedulikan aturan keterikatan tersebut. Apalagi sekarang ini  bermunculan wujud puisi yang bermacam-macam, seperti puisi naratif karya WS Rendra, puisi tipografi karya Sutardji Calzoum Bachri dan lain sebagainya.
Puisi-puisi yang ada sekarang sudah tidak lagi terpasung oleh aturan-aturan jumlah kata maupun suku kata dalam tiap lariknya. Demikian pula rumusan persajakan, tidak lagi menjadi pedoman utama dalam menulis puisi.
Perhatikan puisi berikut!

PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterirna kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku rnasih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterirna kau kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

(Deru Campur Debu, Chairil Anwar ,1959:36)


TRAGEDI WINKA & SIHKA
kawin
            kawin
                        kawin
                                    kawin
                                                kawin
                                                            ka
                                                     win
                                                ka
                                           win
                                       ka
                            win
                    ka
               win
        ka
            winka
                        winka
                                    winka
                                                sihka
                                                            sihka
                                                                        sihka
                                                                        sih
                                                                   ka
                                                              sih
                                                          ka
                                                     sih
                                                ka
                                         sih
                                    ka
                                        sih
                                                ka
                                                     sih
                                                            sih
                                                                 sih
                                                                           sih
                                                                                     sih
                                                                                           sih
                                                                                                ka
                                                                                                      ku

(Sutardji Colzoum Bahri)       

Dari uraian di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa pengertian puisi tidak lagi terbatas pada sebuah karangan yang terikat oleh jumlah baris, kata, suku kata maupun rumusan persajakan. Puisi merupakan ekspresi pemikiran penulis yang dapat membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan. Puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digunakan dalam wujud yang paling berkesan (Pradopo, 1993:7). Puisi sebagai karya seni mengandung nilai-nilai keindahan. Dalam puisi kata-kata tidaklah keluar dari simpanan ingatan. Kata-kata dalam puisi itu lahir dan dilahirkan kembali (dibentuk) pada waktu pengucapannya sendiri. Dalam puisi tak ada perbedaan antara kata-kata dan pikiran. Kata- kata yang tertuang dalam puisi adalah wakil dari pikiran penulisnya. Oleh karena itu diksi atau pilihan kata dalam penulisan puisi sangatlah penting.



BAB II
JENIS PUISI

Telah banyak ahli sastra yang membagi jenis puisi ke dalam beberapa segi. Ditinjau dari segi periodisasi kelahiran puisi terdapat puisi lama/klasik/tradisional dan puisi baru/modern. Puisi lama adalah puisi yang terikat oleh aturan-aturan. Aturan- aturan itu antara lain 1) jumlah kata dalam 1 baris, 2) jumlah baris dalam 1 bait, 3) Persajakan (rima), 4) banyak suku kata tiap baris, 5) Irama. Puisi lama/tradisional mengenal berbagai bentuk mantra, syair, pantun, gurindam, pribahasa, soneta, talibun dan lain. Sedangkan dalam puisi baru terdapat puisi bebas.
A. Puisi lama
1.      Mantra
Mantra adalah merupakan puisi tua, keberadaannya dalam masyarakat Melayu pada mulanya bukan sebagai karya sastra, melainkan lebih banyak berkaitan dengan adat dan kepercayaan.
Contoh:     
Assalammu’alaikum putri satulung besar
Yang beralun berilir simayang
Mari kecil, kemari
Aku menyanggul rambutmu
Aku membawa sadap gading
Akan membasuh mukamu

2.      Syair
Syair berasal dari bahasa Arab yang artinya (sajak). Dalam kasusastraan Indonesia, syair berarti puisi lama yang terdiri atas empat baris per bait, memiliki rima /a a a a/ semua baris merupakan isi dan biasanya tidak selesai dalam satu bait karena digunakan untuk bercerita, Setiap baris terdiri dari 8 – 12 suku kata
Contoh :
Pada zaman dahulu kala    (a)
Tersebutlah sebuah cerita    
(a)
Sebuah negeri yang aman sentosa    
(a)
Dipimpin sang raja nan bijaksana    
(a)

Negeri bernama Pasir Luhur    (a)
Tanahnya luas lagi subur    
(a)
Rakyat teratur hidupnya makmur   
(a)
Rukun raharja tiada terukur    
(a)

Raja bernama Darmalaksana    (a)
Tampan rupawan elok parasnya    
(a)
Adil dan jujur penuh wibawa    
(a)
Gagah perkasa tiada tandingnya    
(a)



3.      Pantun
Pantun (yang searti dengan padi) adalah jenis puisi lama berasal dari Melayu (Indonesia) yang terdiri atas empat baris, memiliki rima (persamaan bunyi) / a b a b, dengan baris pertama dan kedua merupakan sampiran (semacam teka-teki) dan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pantun merupakan puisi Melayu asli yang cukup mengakar dan membudaya dalam masyarakat.
Contoh :
Ada pepaya ada mentimun    (a)
Ada mangga ada salak
   (b)
Daripada duduk melamun
   (a)
Mari kita membaca sajak
   (b)

Ø  Macam-macam Pantun :
1)      Dilihat dari betuknya
a.       Pantun biasa, pantun biasa sering juga disebut pantun saja.
Contoh :
Kalau ada jarum patah
Jangan dimasukkan ke dalam peti
Kalau ada kataku yang salah
Jangan dimasukan ke dalam hati
b.    Seloka (pantun berpait) adalah pantun berkait yang tidak cukup dengan satu bait saja sebab pantun berkait merupakan jalinan atas beberapa bait.
Ciri-Ciri Seloka
-          Baris kedua dan keempat pada bait pertama dipakai sebagai baris pertama dan ketiga bait kedua.
-          Baris kedua dan keempat pada bait kedua dipakai sebagai baris pertama dan ketiga bait ketiga.
Contoh :
Lurus jalan ke Payakumbuh,
Kayu jati bertimbal jalan
Di mana hati tak kan rusuh,
Ibu mati bapak berjalan
Kayu jati bertimbal jalan,
Turun angin patahlah dahan
Ibu mati bapak berjalan,
Ke mana untung diserahkan
c.       Pantun Kilat ( Karmina), memiliki ciri-ciri : setiap bait terdiri dari 2 baris, baris pertama merupakan sampiran, baris kedua merupakan isi, bersajak a – a, setiap baris terdiri dari 8 – 12 suku kata
Contoh :
Dahulu parang, sekarang besi    (a)
Dahulu sayang sekarang benci
   (a)

2)      Dilihat dari Isinya :
a.    Pantun anak-anak
Contoh :
Elok rupanya si kumbang jati
Dibawa itik pulang petang
Tidak terkata besar hati
Melihat ibu sudah datang
b.    Pantun Orang Muda
Contoh :
Tanam melati di rama-rama
Ubur-ubur sampingan dua
Sehidup semati kita bersama
Satu kubur kelak berdua
c.    Pantung Orang Tua
Contoh :
Asam kandis asam gelugur
Kedua asam riang-riang
Menangis mayat di pintu kubur
Teringat badan tidak sembahyang
d.   Pantun Jenaka
Contoh :
Elok rupanya pohon belimbing
Tumbuh dekat pohon mangga
Elok rupanya berbini sumbing
Biar marah tertawa juga
e.    Pantun Teka-teki
Contoh :
Kalau puan, puan cemara
Ambil gelas di dalam peti
Kalau tuan bijak laksana
Binatang apa tanduk di kaki

4.      Gurindam
Gurindam adalah jenis puisi lama yang terdiri atas dua baris, semuanya merupakan isi dan menunjukkan hubungan sebab akibat. Gurindam merupakan puisi lama yang berasal dari Tamil (India)
Ciri-ciri gurindam :
a.       Sajak akhir berirama a – a ; b – b; c – c dst.
b.      Berasal dari Tamil (India)
c.       Isinya merupakan nasihat yang cukup jelas yakni menjelaskan atau menampilkan suatui sebab akibat.
Contoh :

Kurang pikir kurang siasat (a)
Tentu dirimu akan tersesat (a)

Barang siapa tinggalkan sembahyang ( b )
Bagai rumah tiada bertiang ( b )

Jika suami tiada berhati lurus ( c )
Istri pun kelak menjadi kurus ( c )

5.      Pribahasa
Peribahasa adalah suatu kiasan bahasa yang berupa kalimat atau kelompok kata yang bersifat padat, ringkas dan berisi tentang norma, nilai, nasihat, perbandingan, perumpamaan, prinsip dan aturan tingkah laku. Berikut ini adalah beberapa contoh peribahasa dengan artinya :
-          Di mana bumi dipijak di sana langit di junjung
artinya : jika kita pergi ke tempat lain kita harus menyesuaikan, menghormati dan toleransi dengan budaya setempat.
-          Tiada rotan akar pun jadi
artinya : tidak ada yang bagus pun yang jelek juga tidak apa-apa.
-          Buah yang manis biasanya berulat
artinya : kata-kata yang manis biasanya dapat menyesatkan atau menjerumuskan.
-          Tak ada gading yang tak akan retak
artinya : Tidak ada satu pun yang sempurna, semua pasti akan ada saja cacatnya

6.      Soneta
Soneta adalah salah satu bentuk sastra baru yang berasal dari Italia. Soneta masuk kedalam sastra Indonesia melalui sastra Belanda. Di dalam sastra Indonesia soneta mula-mula dipergunakan oleh Muhammad Yamin.
Sedangkan ciri-ciri soneta adalah sebagai berikut.
1.   Sajak terdiri dari 14 baris, dibagi dalam empat bait, masing-masing terdiri dari 4,4 dan 3,3 baris.
2.      Tiap barisnya terdiri dsari 8-12 suku kata.
3.      Tiap bait yang terdiri dari 4 baris dinamakan kuatren dan yang terdiri dari 3 baris dinamakan tersina.
4.      Kedua kuatren dinamakan oktaf dan kedua tersina dinmakan sektet.
5.      Oktaf adalah sampiran dan sektet adalah isi.
Contoh Soneta klasik :
Belimbing madu berselimut benalu, banyak ulat dalam buahmu
Jambu air di sebelah kiri, sudah dipapas berlebat lagi
Rimbun daunnya tak mampu kalahkan panas Bekasi
Hawa gerah paksa diriku berlepas baju

Rumah biru saksi bisu kehidupanku
Hujan deras air masuk basahi kaki
Membaca dan menulis setiap hari berteman secangkir kopi
Satu kamar tempat aku bergelimang buku

Di sini kuberkarya jalani hidup penuh tantangan
Hidup berdua dalam suka maupun duka
Tak terasa sebentar lagi harus kutinggalkan

Juli nanti kuserah kunci pada yang punya
Kutinggalkan rumah biru penuh kenangan
Di rumah baru menanti hadirnya buah pertama

Anshari Taslim
Bekasi, 28 April 2009

7.      Talibun
Talibun adalah pantun jumlah barisnya lebih dari empat baris, tetapi harus genap misalnya 6, 8, 10 dan seterusnya.
Jika satu bait berisi enam baris, susunannya tiga sampiran dan tiga isi.
Jika satu bait berisi delapan baris, susunannya empat sampiran dan empat isi.
Jadi :
Apabila enam baris sajaknya a – b – c – a – b – c.
Bila terdiri dari delapan baris, sajaknya a – b – c – d – a – b – c –
Ciri-ciri Talibun adalah seperti berikut:
·         Ia merupakan sejenis puisi bebas
·         Terdapat beberapa baris dalam rangkap untuk menjelaskan pemerian
·         Isinya berdasarkan sesuatu perkara diceritakan secara terperinci
·         Tiada pembayang. Setiap rangkap dapat menjelaskan satu keseluruhan cerita
·         Menggunakan puisi lain (pantun/syair) dalam pembentukannya
·         Gaya bahasa yang luas dan lumrah (memberi penekanan kepada bahasa yang berirama seperti pengulangan dll)
·         Berfungsi untuk menjelaskan sesuatu perkara
·         Merupakan bahan penting dalam pengkaryaan cerita penglipur lara
Tema talibun biasanya berdasarkan fungsi puisi tersebut. Contohnya seperti berikut:
·         Mengisahkan kebesaran/kehebatan sesuatu tempat dll
·         Mengisahkan keajaiban sesuatu benda/peristiwa
·         Mengisahkan kehebatan/kecantikan seseorang
·         Mengisahkan kecantikan seseorang
·         Mengisahkan kelakuan dan sikap manusia
·         mengisahkan perlakuan dimasa lalu
Contoh Talibun :
Tengah malam sudah terlampau
Dinihari belum lagi nampak
Budak-budak dua kali jaga
Orang muda pulang bertandang
Orang tua berkalih tidur
Embun jantan rintik-rintik
Berbunyi kuang jauh ke tengah
Sering lanting riang di rimba
Melenguh lembu di padang
Sambut menguak kerbau di kandang
Berkokok mendung, Merak mengigal
Fajar sidik menyinsing naik
Kicak-kicau bunyi Murai
Taktibau melambung tinggi
Berkuku balam dihujung bendul
Terdengar puyuh panjang bunyi
Puntung sejengkal tinggal sejari
Itulah alamat hari nak siang
(Hikayat Malim Deman)

B.     Puisi Baru
Puisi baru tidak sama dengan puisi lama. Isi, bentuk, irama, dan bentuk persajakan dalam puisi lama sudah berubah dalam puisi baru. Puisi baru bentuknya lebih bebas dari pada puisi lama baik dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima.
Ø  Ciri-ciri Puisi Baru
a.             Bentuknya rapi, simetris
b.            Mempunyai persajakan akhir (yang teratur)
c.             Banyak mempergunakan pola sajak pantun dan syair meskipun ada pola yang lain.
b.            Sebagian besar puisi empat seuntai;
c.             Tiap-tiap barisnya atas sebuah gatra (kesatuan sintaksis)
d.            Tiap gatranya terdiri atas dua kata (sebagian besar) : 4-5 suku kata.
Ø  Macam-macam Puisi Baru
a.          Distikon
Distikon adalah sanjak 2 seuntai, biasanya bersajak sama.
Contoh :
Berkali kita gagal
Ulangi lagi dan cari akal

Berkali-kali kita jatuh
Kembali berdiri jangan mengeluh
                   (Or. Mandank)

b.      Terzina
Terzina adalah sanjak 3 seuntai.
Contoh :
Dalam ribaan bahagia datang
Tersenyum bagai kencana
Mengharum bagai cendana

Dalam bah’gia cinta tiba melayang
Bersinar bagai matahari
Mewarna bagaikan sari
                Dari ; Madah Kelana
                 Karya : Sanusi Pane

c.       Quatrain
Quatrain adalah sanjak 4 seuntai
Contoh :
Mendatang-datang jua
Kenangan masa lampau
Menghilang muncul jua
Yang dulu sinau silau

Membayang rupa jua
Adi kanda lama lalu
Membuat hati jua
Layu lipu rindu-sendu
               (A.M. Daeng Myala)

d.      Quint
Quint adalah sanjak 5 seuntai
Contoh :
Hanya Kepada Tuan
Satu-satu perasaan
Hanya dapat saya katakan
Kepada tuan
Yang pernah merasakan

Satu-satu kegelisahan
Yang saya serahkan
Hanya dapat saya kisahkan
Kepada tuan
Yang pernah diresah gelisahkan

Satu-satu kenyataan
Yang bisa dirasakan
Hanya dapat saya nyatakan
Kepada tuan
Yang enggan menerima kenyataan
                        (Or. Mandank)

e.       Sextet
Sextet adalah sanjak 6 seuntai.
Contoh :
Merindu Bagia
Jika hari’lah tengah malam
Angin berhenti dari bernafas
Sukma jiwaku rasa tenggelam
Dalam laut tidak terwatas
Menangis hati diiris sedih
                        (Ipih)

f.       Septina
Septima adalah sanjak 7 seuntai.
Contoh :
Indonesia Tumpah Darahku
Duduk di pantai tanah yang permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung gemunung bagus rupanya
Ditimpah air mulia tampaknya
Tumpah darahku Indonesia namanya
                        (Muhammad Yamin)

g.      Stanza ( Octav )
Octav adalah sanjak 8 seuntai
Contoh :
Awan
Awan datang melayang perlahan
Serasa bermimpi, serasa berangan
Bertambah lama, lupa di diri
Bertambah halus akhirnya seri
Dan bentuk menjadi hilang
Dalam langit biru gemilang
Demikian jiwaku lenyap sekarang
Dalam kehidupan teguh tenang

                    (Sanusi Pane)

Ø  Jenis-jenis Puisi Baru
Jenis puisi menurut isinya :
a.       Balada adalah puisi berisi kisah/cerita tentang orang-orang perkasa, tokoh pejuang, atau ornag-orang yang menjadi pusat perhatian. Misalnya Ballada Orang-orang Tercinta dan Blue untuk Bonnie karya W.S Rendra. Puisi karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul “ Balada Matinya Aeorang Pemberontak”
Contoh :
BALADA IBU YANG DIBUNUH
Ibu musang di lingdung pohon tua meliang
bayi dua ditinggal mati lakinya
Bulan sabit terkait malam memberita datangnya
waktu makan bayi-bayinya mungil sayang.

Matanya berkata pamitan, bertolaklah ia
dirasukinya dusun-dusun, semak-semak, taruhan harian atas nyawa.
Burung kolik menyayikan berita panas dendam warga desa
menggetari ujung bulu-bulunya tapi dikibaskanya juga.

Membumbung juga nyanyi kolik sampai mati tiba-tiba
oleh lengking pekik yang lebih menggigilkan pucuk-pucuk daun
tertangkap musang betiana dibunuh esok harinya.

Tiada pulang ia yang mesti rampas rejeqi hariannya
ibu yang baik, matinya baik, pada bangkainya gugur pula dedaun tua.

Tiada tahu akan merataplah kolik meratap juga
dan bayi-bayinya bertanya akan bunda pada angin Tenggara
Lalu satu ketika di pohon tua meliang
matilah anak-anak musang, mati dua-duanya

Dan jalannya semua peristiwa
tanpa dudungan satu dosa. Tanpa.
(Balada Orang-orang Tercinta, W.S. Rendra)

b.      Himne adalah puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau pahlawan
Contoh :
Bahkan batu-batu yang keras dan bisu
Mengagungkan nama-Mu dengan cara sendiri
Menggeliat derita pada lekuk dan liku
bawah sayatan khianat dan dusta.
Dengan hikmat selalu kupandang patung-Mu
menitikkan darah dari tangan dan kaki
dari mahkota duri dan membulan paku
Yang dikarati oleh dosa manusia.
Tanpa luka-luka yang lebar terbuka
dunia kehilangan sumber kasih
Besarlah mereka yang dalam nestapa
mengenal-Mu tersalib di datam hati.
(Saini S.K)

c.       Ode adalah puisi sanjungan untuk orang yang berjasa. Berisi pujaan terhadap seseorang, sesuatu hal, atau sesuatu keadaan, biasanya untuk tokoh yang dikagumi. Ode yang terkenal adalah ”Ode buat Proklamator” karya Leon Agusta, ”Teratai” karya Sanusi Pane.
Contoh :
Generasi Sekarang
Di atas puncak gunung fantasi
Berdiri aku, dan dari sana
Mandang ke bawah, ke tempat berjuang
Generasi sekarang di panjang masa
Menciptakan kemegahan baru
Pantoen keindahan Indonesia
Yang jadi kenang-kenangan
Pada zaman dalam dunia
                      (Asmara Hadi)

d.      Epigram adalah puisi yang berisi tuntunan/ajaran hidup.
Contoh :
Hari ini tak ada tempat berdiri
Sikap lamban berarti mati
Siapa yang bergerak, merekalah yang di depan
Yang menunggu sejenak sekalipun pasti tergilas.
(Iqbal)

e.       Elegi adalah puisi yang mengungkapkan perasaan duka/ratap tangis/kesedihan. Misalnya Karangan Bunga karya Taufiq Ismail yang menggunakan kedukaanya pada seorang mahasiswa yang mati tertembak ketika melakukan demostrasi untuk menyampaikan tuntutan rakyat kepada pemerintah.
Contoh :
                                    Karangan Bunga
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke salemba
Sore itu.

Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi’
(Tirani, Taufiq Ismail)

f.       Satire adalah puisi yang berisi sindiran/kritik. Mengungkapkan perasaan tidak puas pengarang terhadap keadaan, namun dengan cara menyindir atau menyatakan keadaan yang sebaliknya. Kritik sosial adalah puisi yang menyatakan ketidaksenangan pengarang terhadap keadaan atu seseorang dengan cara membeberkan kepincangan atau ketidakberesan keadaan/orang tersebut. Misalnya ”Nyayian Angsa karya Rendra yang mengungkapkan kepincangan kehidupan osial dalam masyarakat memperlakukan orang yang membutuhkan pertolongan; pusi ”Doktorandus Tikus I” karya F. Rahandi yang membeberkan kepincangan atau ketidakberesan dalam kehidupan pendidikan, ijasah dpat dibeli dengan mudah.
Contoh :
Aku bertanya
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur jidad penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi
di sampingnya,
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan,
termangu-mangu dl kaki dewi kesenian.
(Rendra)
g.      Romance adalah puisi yang berisi luapan perasaan cinta kasih. Jenis puisi cerita yang menggunakan bahasa romantik yang berisi kisah percintaan yang berhubungan dengan ksatria, dengan diselingi perkelahian dan petualangan yang menambah percintaan mereka lebih pempesona. Misalnya ”Romansa” karya W.S. Rendra yang berisi kisah cinta Rendra sebelum ia menikah.
Contoh :
Engkau awan yang selalu berikan hitam dan putih jiwaku,
yang memancarkan aura cinta,
yang memanggilku untuk memberimu tulus cinta dari hatiku,
Bintang,
jagalah dirinya dari gelap malam,
saat kau kelipkan cahayamu,
berikanlah dia selalu mimpi indah tetang kita berdua,
Bulan,
teduhkan hati dan jiwanya di saat rindu datang diantara kita berdua,
wujudkanlah cinta yang tulus dan sejati antara diriku dan dirinya,
karena diriku
menyayanginya
mencintainya
dan
selalu merindukanya…



BAB III
UNSUR-UNSUR PEMBANGUN PUISI

Secara umum orang mengatakan bahwa sebuah puisi dibangun oleh dua unsur penting, yakni bentuk dan isi atau disebut juga bentuk fisik dan bentuk batin. Struktur fisik puisi terdiri atas baris-baris puisi yang bersama-sama membangun bait-bait puisi. Selanjutnya bait-bait puisi itu membangun kesatuan makna di dalam keseluruhan puisi sebagai sebuah wacana. Adapun yang termasuk dalam struktur fisik puisi adalah diksi, pengimajian, kata konkret, majas (meliputi lambang dan kiasan), versifikasi dan tipografi. Struktur batin puisi meliputi tema, nada, perasaan, dan amanat (Waluyo dalam Jabrohim, 2003:34).
Unsur-unsur puisi itu tidaklah berdiri sendiri-sendiri tetapi merupakan sebuah struktur. Seluruh unsur merupakan satu kesatuan dan unsur yang satu dengan yang lain menunjukkan hubungan keterjalinan yang satu dengan yang lainnya.
Berikut ini merupakan beberapa pendapat mengenai unsur-unsur puisi.
1.      Richards (dalam Tarigan, 1986) mengatakan bahwa unsur puisi terdiri dari (1) hakikat puisi yang melipuiti tema (sense), rasa (feeling), amanat (intention), nada (tone), serta (2) metode puisi yang meliputi diksi, imajeri, kata nyata, majas, ritme, dan rima.
2.      Waluyo (1987) yang mengatakan bahwa dalam puisi terdapat struktur fisik atau yang disebut pula sebagai struktur kebahasaan dan struktur batin puisi yang berupa ungkapan batin pengarang.
3.      Altenberg dan Lewis (dalam Badrun, 1989:6), meskipun tidak menyatakan secara jelas tentang unsur-unsur puisi, namun dari outline buku mereka bisa dilihat adanya (1) sifat puisi, (2) bahasa puisi: diksi, imajeri, bahasa kiasan, sarana retorika, (3) bentuk: nilai bunyi, verifikasi, bentuk, dan makna, (4) isi: narasi, emosi, dan tema.
4.      Dick Hartoko (dalam Waluyo, 1987:27) menyebut adanya unsur penting dalam puisi, yaitu unsur tematik atau unsur semantik puisi dan unsur sintaksis puisi. Unsur tematik puisi lebih menunjuk ke arah struktur batin puisi, unsur sintaksis menunjuk ke arah struktur fisik puisi.
5.      Meyer menyebutkan unsur puisi meliputi (1) diksi, (2) imajeri, (3) bahasa kiasan, (4) simbol, (5) bunyi, (6) ritme, (7) bentuk (Badrun, 1989:6).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur puisi meliputi (1) tema, (2) nada, (3) rasa, (4) amanat, (5) diksi, (6) imaji, (7) bahasa figuratif, (kata konkret, (9) ritme dan rima. Unsur-unsur puisi ini, menurut pendapat Richards dan Waluyo dapat dipilah menjadi dua struktur, yaitu struktur batin puisi (tema, nada, rasa, dan amanat) dan struktur fisik puisi (diksi, imajeri, bahasa figuratif, kata konkret, ritme, dan rima).

A.       Struktur Fisik Puisi
Unsur fisik atau banguan struktur puisi adalah unsur pembetuk puisi yang dapat diamati secara visual. Bangun struktur tersebut dapat diamati secara visual. Adapun struktur fisik puisi dijelaskan sebagai berikut.
1.      Bunyi
Bunyi dalam puisi memiliki sifat estetik, yaitu unsur puisi yang bertujuan mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi juga digunakan untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya.
Bunyi digunakan sebagai sarana orkestrasi, maksudnya menimbulkan bunyi kalsik. Bunyi vocal dan konsonan disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan bunyi yang merdu dan berirama seperti bunyi music. Dari bunyi music murni inilah dapat mengalir perasaan, imaji-imaji dalam pikiran atau pengalaman-pengalaman jiwa penikmatnya.
Berdasarkan merdu atau tidaknya dalam puisi, bunyi dibagi menjadi dua yaitu
a.)     Bunyi Efoni (euphony) adalah kombinasi-kombinasi bunyi yang merdu, bunyi indah. Kombinasi bunyi-bunyi vocal (asonansi); a, e, i, o, u, bunyi-bunyi konsonan bersuara (voice); d, d, g, j, bunyi (liquida); r, l dan bunyi sengau; m, n, ng, ny menimbulkan bunyi merdu dan berirama (euphony).
FLAMBOYAN III
“Percakapan tentang Flamboyan”
Flamboyan yang kau tanam
di taman hatimu
kini berbunga
merahnya penuhi cakrawala
dan mengusik pelangi
                        (Bagas Pambudi)
Dalam contoh pusi di atas bunyi dominan adalah bunyi efoni, yaitu asonansi /e/, /i/, /a/, dan /u/; voiced /b/, /d/, /g/, /j/. liquida /r/ dan /l/, serta buntyi sengau /ng/ yang menggambarkan bahwa pengarang sedang berbahagia, bersukacita, mengagungkan cintanya pada flamboyant yang dinanti bunganya, merasa memilki semangat setelah ada flamboyant itu mekar.
b.)     Bunyi kakafoni (cacophony) adalah bunyi yang tidak merdu, bunyi yang terhambat pengucapannya, bunyi yang tidak indah, parau, berat. Bunyi-bunyi itu antara lain bunyi k, p, t, s. bunyi ini cocok dan dapat digunakan untuk memperkuat suasana yang tidak menyenangkan, kacau balau, serba tak teratur, bahkan memuakkan.
DALAM GERIMIS
Kau tak mau mendengar juga, ketika kupanggil namamu di kebun itu. Kau tak mau mencariku pula, ketika kau merasa aku tidak ada di dekatmu.
Kau tak mau, ketika dalam gerimis aku tergelincir di kebun itu dan seekor ular memberinya bias
Ular itu telah masuk ke dalam celana dan tinggal di sana.
( Andri Damadji Woko)
Bunyi kakafoni terlihat sangat dominan dalam bait di atas. Terdapat banyak bunyi /t/, /k/, /p/, dan /s/, sehingga menggambarkn keadaan yang tak menyenangkan, membosankan, terasa kacau, kusut yang terjadi pada diri pengarang. Ia merasa tak dihiraukan temannya dan tak ada lagi yang menolong ketika ia terkana musibah.
Jadi unsure bunyi dapat untuk memperdalam arti, mempertegas tanggapan, dan memperdalam perasaan. Tetapi bunyi kata tidak dapat menjelmakan perasaan senang, sedih, girang, bahagia sekuat suara music. Bunyi kata hanya digunakan untuk memberikan sugesti tentang suasana tersebut.
Bunyi kata selain sebagai symbol arti dan orkestrasi, juga sebagai (1) panipu bunyi atau onomatope, (2) lambing rasa (Klanksymboliek), dan (3) kiasan suara (klankmtaphoor).
2.      Versifikasi
Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima atau sajak merupakan sarana kepuistisan yang lain dalam puisi.
Sajak adalah pola estetika bahsa yang berdasarkan ulangan suara yang diusahakan dan dialami dengan kesadaran. Pengulangan bunyi vocal sering disebut dengan asonansi, sedangkan pengulangan bunyi konsonan disebut aliterasi. Asonansi dan aliterasi berfungsi untuk memperdalam rasam memperlacar ucapan.
Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup (1) onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi Sutadji C.B.), (2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya [Waluyo, 187:92], dan (3) pengulangan kata/ungkapan. Ritma merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi
Metrum adalah irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu. Hal ini disebabkan oleh jumlah suku kata yang sudah tetap dan tekananya yang tetap hingga alunan suara yang menarik dan menurun itu tetap saja.
Ritma adalah irama yang disebabkan pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap, melainkan hanya menjadi gema dendang sukma penyairnya
3.      Pemilihan kata
Pemilihan kata (diksi) yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Geoffrey (dalam Waluyo, 19987:68-69) menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami 9 (sembilan) aspek penyimpangan, yaitu penyimpangan leksikal, penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan sintaksis, penggunaan dialek, penggunaan register (ragam bahasa tertentu oleh kelompok/profesi tertentu), penyimpangan historis (penggunaan kata-kata kuno), dan penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik).
Pilihan kata (diksi) dapat diperolah dengan berbagai cara agar diperolah dikasi puitis. Cara-cara itu dengan menggunkana bahasa kiasan, citraan, gaya bahasa dab sarana retorika.
a)       Bahasa Kiasan
Bahasa Kiasan atau (figurative language) digunakan untuk mendapatkan dikasi yang puitis. Bahasa kiasan menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian menimbulkan kesegaran, kehidupan, dan menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan mengiaskan atau mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain, supaya gambaran itu menjadi jelas.
Jenis-jenis bahasa kiasan yang biasa digunakan pengarang antara lain, perbandingan, metafora, perimpamaan epos, personifikasi, metonimi, sinekdoke dan alegori.
(1).  Perumpamaan (simile)
Perbandingan atau perumpamaan atau simile adalah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti; bagai, laksana, sepantun, se, atau kata-kata pembanding yang lain. Pembanding ini paling banyak digunakan pengarang dalam puisi. Gunanya untuk memudahkan pembaca dalam memahami perasaan yang dialami pengarang.
Rindu ini tak dapat kutepis
Bagai mekar bunga di musim semi
                 (Meniti Musim, Bagas Pambudi)

Seperti anak kecil yang baru saja mendapat
pelajaran berhitung. Kau dengan mata bersinar
seperti telaga di bawah matahari; menghitung
                 (“Saat”, Prijono Soediono)
(2).  Metafora
Metafora melihat sesuatu dengan perantaraan benda lain. Pengungkapan yang mengandung makna secara tersirat untuk mengungkapkan acuan makna yang lain selain makna sebenarnya.
Rakyat ialah kita
Jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
(Rakyat, harmoko Andangjaya)

Pusiku adalah
Sebuah pesan dari barat ke timur
                 (“Puisiku Adalah”, SjafrialArifin)

(3).  Perumpamaan Epos (epic simile)
Perumpamaan epos adalah perbandingan yang dilajutkan, atau diperpanjang, yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat pembadingnya lenih lanjut dalam kalimat-kalimat atau frase-frase yang berturut-turut.
Puisiku adalah terlempar
terhembus dan terkampar
di padang pasir
dan belukar
                 (“Puisi Adalah”, Sjafial Arifin)

(4).  Personifikasi
Personifikasi merupakan kiasan yang mempersamakan benda mati dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berfikir, berbuat, dan sebaginya seperti manusia. Personifikasi ini membuat hidup lukisan, memberi kejelasan beberan, memberikan bayangan angan yang konkret.
Kupandang baying melompat-lompat,
Dipandang rumput;
Kulihat daun derak cepat…
                 (“Kusuka Katakan”, JE. Tatengkeng)

Seribu gerimis menuliskan kemarau di kaca jendela
Basah langit yang sampai melepaskan senja
                 (“Gerimis I”Abdul Hadi W.H.)

(5).  Hiperbola
Hiperbola adalah melebih-lebihkan hal atau keadaan yang sebenarnya, kiasaan yang berlebihan.
Sinar cahaya matamu membara
membakar dinginnya hutan pinus
mengeringkan liku Serayu
di senja itu…
                 (“Sinar Cahaya Matamu”, Bagas Prambudi)

(6).  Metonimi
Metonimi adalah pengungkapan dengan menggunakan suatu realitas tertentu, baik nama orang, benda, atau sesuatu yang lain yang menampilkan makna-makna tertentu.
Tembang menggema di dua kaki
Burangan-Tangkubanprahu
…………………………..
                 (“Tanah kelahiran I”), Ramadhan K.H.)
Burung Tangkubanprahu menggantikan kota kelahiran pengarang yaitu Priangan, Jawa Barat.

(7).  Sinekdoke (synecdoche)
Sinekdoke adalah bahasa kias yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri.
Sinekdoke ada dua macam yaitu,
Pras pra too (sebagaian untuk keseluruhan)
……………………….
Dalam perhelatan itu,
Kepalanya ditetek,
Selakangnya diacak-acak,
Dan tubuhnya dibirulebamkan
Dengan besi batangan
                 (Dongen Marsinah 3, Sapardi Djoko Damono
Totem pro parte (keseluruhan untuk sebagian)
…………………………
Pada samar lesung pipit
Yang tak pernah kau sadari
                 (Meniti Musim, Bagas Pambudi)
Lesung pipit adalah bagian dari tubuh seseorang, senyum seseorang.
           
b)     Citraan (imagery)
Menurut Pradopo (1995: 79), citraan (imagery) adalah gambaran-gambaran angan dalam puisi untuk memperjelas peristiwa, menimbulkan suasana yang khusus, untuk membuat (lebih) hidup gambaran dalam pikiran dan pengidraan, serta menarik perhatian.
Citraan dalam puisi terdiri atas citraan penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, pencecapan dan gerak.
(1). Citraan penglihat (visual imagery)
Citraan penglihatan adalah citraan yang timbul oleh penglihatan. Citraan ini memberikan rangsangan kepada indera penglihatan, sehingga hal-hal yang tak terlihat seolah-olah terlihat.
……………………………
Dari angkasa disaksikannya kelak-kelok anak sungai,
Pohon-pohon jambu, asam jawa, bunga sepatu, lamtara
Gang-gang kecil, orang-orang minimba di sumur tua,
Dan satu dua sepeda ,elintas di jalan raya.
(“Layang-layang”, Sapardi Djoko Damono)
Matanya terus mengawas daku
Walaupun bibirnya tiada bergerak
Mukanya masam menahan sedan
Hatinya pedih karena lakuku
(“Ibuku Dahulu”, Amir Hamzah)
(2). Citraan pendengaran (auditory imagery)
Citraan pendengaran adalah citraan yang dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara. Citraan ini memberikan rangsangan kepada indera pendengar, sehingga kata-kata itu seolah-olah mengeluarkan bunyi, dan pembaca dapat mengungkapkan bunyi.
…………………………..
Langit berbinar dalam pendar dingin kabut
Melanturkan sunyi hati yang mengapung
…………………………..
…………………………..
Sewaktu cahaya tertoreh
Ruang hening oleh bisik pisau; Dikau-kah
Debu, bianglala itu,
………………………….
(Garis”, Sapardi D Damono)
(3). Citraan perabaan
Citran perabaan adalah citraan yang ditimbulkan atau berkaitan dengan kulit.
………………………….
Langit birbinar dalam pendar dingin kabut
Melantunkan sunyi hati yang mengapung
…………………………
………………………..
ah, untuk apa pula
toh segera diterbangkan angin selagi hangat
(“Ayat-Ayat Api”, Sapardi Djoko Damono)
(4). Citraan penciuman
Citraan penciuman adalah citraan yang berkaitan dengan hidung
……………………………..
Dalam kerling gemintang
Kuatangkap wangi rambutmu
……………………………...
……………………………..
Perempuan itu diam; mungkin ia lebih suka
Menembak-nebak saja apakah yang nafasnya sengit
Dan keringatnya anyir itu Arjuna atau Rahwana.
“(Sajak”, Spardi Djoko Damono)
(5). Citraan pencecapan
Citraan pencecapan adalah citraan yang berkaitan dengan indera perasa atau lidah.
………………………….
Rinduku tersimpan di tepian Serayu
berteman manisnya pucuk pinus
…………………………..
Getir rindumu, kau pintal jadi mimpi
nyeri hati sunyi, menetes hari bersemi
(6). Citraan gerak
Citraan gerak (kinaesthetic imagery) merupakan citraan yang menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bisa bergerak namun seolah-olah bergerak.
…………………………
Awan menjelma burung
Berkas-berkas cayaha
Sibuk jalin-menjalin
…………………………
(“Adam dan Hawa”, Sapardi Djoko Damono)

………………………..
Antara batu-batu hening merenungi air kolam
Angin bercakap-capak, sehelai daun terperanjat dan lepas
(“Sehabis Hujan Kecil”, Abdul Hadi W.M)
c)      Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati pengarang, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati penikmat puisi (Pradopo, 1995; 93). Gaya bahasa yang digunakan memiliki tujuan untuk menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada susunan kalimat dalam puisi. Sehingga penikmat puisi dapat mengeluarkan reaksi tertentu dan pendapat atau tanggapan mengenai isi puisi.
Tiap pengarang memiliki ciri khas atau gaya bahasa sendiri-sendiri. Amir Hamzah menyukai kata-kata yang romantic, penuh bahasa figurative, kiasan, menggunakan kata yang konotatif dan agak sulit dipahami pembaca. Cahairil Anwar menggunakan kata-kata lugas, bentuk puisi bebas namun tetap puitis. Sedangkan pengarang zaman sekarang lebih menyukai bahasa sehari-hari, apa adanya, terbuka dan maknanya tidak terlalu sulit ditemukan. Maka banyak bermunculan puisi naratif atau puisi prosais.
Gaya bahasa pengarang ini merupakan sarana kepuitisan yang ditimbulkan dalam puisi yang ditulisnya. Corak atau jenis gaya bahasa ini pada umumnya berbeda tiap angakatan atau periode. Hal ini ditentukan oleh gaya sajaknya, aliran, paham, serta konvensi dan konsepsi estetikanya. Gaya bahasa angkatan Pujangga Baru berbeda dengan gaya angkatan 45 apalagi angkatan 66.
Gaya setiap angkatan atau periode juga bias terjadi melalui penyimpangan bahasa yang dilakukan pengarang. Penyimpangan bahasa disebabkan bahasa satra yang tidak stabil. Setiap angkatan mengubah konvensi sastra sambil memakai dan menentangnya. Waluyo (1995: 68) menyebutkan ada 9 aspek penyimpangan bahasa, yaitu penyimpangan leksikal, semantic, fonologis, morfologis, sintaksis, historis, grafologis, penggunaan dialek dan regraster.
4.      Tipografi
Tipografi (perwajahan puisi) merupakan hal yang terlihat atau wujud fisik yang dapat membedakan puisi dengan prosa atau drama. Baris-baris puisi tersusun membentuk bait, sedangkan prosa membentuk paragraph, dan drama membentuk percakan. Tipografi puisi juga dapat membedakan gaya tiap angkatan atau periode sastra. Angkataan sebelum kemerdekaan atau puisi lama selalu menggunakan bait yang ditentukan aturan, tetapi angkatan setelah itu, tipografi tidak harus mengikuti aturan baku. Banyak pengarang yang mengabaikan tipografi dan mengunakan kata. Adapula pengarang yang menonjolkan tipografi daripada kata-kata, missal puisi konkret dalam memberitahukan isi melalui bentuk tipografi. Maka sampai saat ini banyak sekali tipografi puisi.
Tujuan penyusunan tipografi yang beraneka jenis itu adalah (1) sekedar untuk keindahan indrawi, maksudnya supaya susunan puisi tersebut tampak indah; (2) membantu mengintensifkan makna dan rasa atau suasana puisi yang bersangkutan.
Bantuk puisi lama
 Tanam melati di rama-rama
Ubur-ubur sampingan dua
Biarlah mati kita bersama
Satu kubur kita berdua
Bentu puisi baru
Anakku tuan remaja puisi,
Buah hati cahaya mata,
Hari raya sebasar ini,
Mengapa tuan tak bangu jua
……………………………
(“Ratap Ibu”, Selasih)


Kuncup
Terpipat                                               Melambai
Terlipat,                                               Melombai
Engkau mancari                                  Engkau beringin
Terang matahari                                 Digerak angin
                           Terhibur
                           Terlipur
                           Engkau bermalam
                           Di pinggir kolam.
Mengeram                                           Terbuka
Mendendam                                        Besuka
Engkau ditimbun                                 Engkau berkembang
Sejuknya embun                                  Memanggil kumbang
                           Terputih
                           Tersuci
                           Kembang di dahan
                           Memuji Tuhan
                                    (Rindu Dendam, J.E. Tetengkeng)

Salju
Ke manakah pergi
Mencari matahari
Ketika salju turun
Pepohonan kehilangan daun

Ke manakah jalan
Mencari lindungan
Ketika tubuh kuyub
Dan pintu tertutup

Ke manakah lagi
Mencari api
Ketika bara hati
Padam tak berarti

Ke manakah pergi
Selain mencuci
(Wing Karjo)
5.      Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.
6.      Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll., sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.

B.        Struktur Batin Puisi
Adapun struktur batin puisi akan dijelaskan sebagai berikut.
1.      Tema
Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan. Tema adalah ide dasar dari suatu puisi yang menjadi inti dari keseluruhan makna puisi. Tema berbeda dengan pandangan moral atau massage, meskipun tema itu dapat berupa sesuatu yang memliki nilai rohaniah. Tema diambil dari keseluruhan makna puisi dan memcangkup tema lebih luas dari pada mesegge.
Tahapan yang dapat ditempuh dalam mencari atau menganalisis lapis makna puisi antara lain:
a.       Membaca pusi yang telah dipilih secara berulang-ulang
b.      Berusaha memahami makna yang terkandung dalam judul puisi
c.       Berusaha memahami gambaran makna yang ditampilkan pengarang secara umum
d.      Menetapkan kata-kata yang termasuk dalam kategori lambang dan kata-kata yang termasuk dalam kategori symbol.
e.       Berusaha memahami makna setiap symbol yang terdapat dalam puisi yang menjadi objek analisis.
f.       Berusaha memahami makna yang terdapat dalam setiap baris puisi.
g.      Berusaha memahami hubungan makna antara baris puisi yang stu dengan baris puisi lainnya.
h.      Berusaha memahami sutuan-satuan pokok pikiran, baik yang terkadung dalam sekelompok baris maupun satuan pokok pikiran yang terdapat dalam bait.
i.        Berusaha memahami sikap pengarang terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya.
j.        Berusaha memahami sikap pengarang terhadap pembac sewaktu menampilkan pokok-pokok pikirannya.
k.      Merangkum hasil pemahaman pokok pikiran, sikap pengarang terhadap pembaca dalam satu paragraf atau lebih sesuai dengan jumlah pikiran yang ada.
l.        Berusaha menentukan tema puisi berdasarkan totalitas maknanya.
2.      Makna (sense), adalah sesuatu yang diciptakan atau digambarkan oleh pengarang melalui puisi yang diciptakan. Sence akan berhubungan dengan gambaran dunia pengarang atau makna puisi secara umum. Untuk memeudahkan mengetahui sence dalam sebuah puisi dengan memjawab pertanyaan “Apakah yang akan dikemukakan pengarang melalui puisi yang diciptakan?”.
3.      Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.
4.      Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.
5.      Amanat/tujuan/maksud (itention); sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari  sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.



BAB IV
STRATA NORMA PUISI

Puisi merupakan karya sastra imajinatif yang menggunakan bahasa sebagai sarana penyampainannya. Bahasa merupakan bahan atau subtansi pokok dari puisi. Di tangan pengarang bahasa diolah menggunakan instuisi, imajinasi menjadi karya yang mengagumkan. Dengan instuisi dan imajinasi pengarang berusaha mengabadikan gerakan alam atau segala sesuatu yang dapat menggetarkan perasaannya ke dalam kata-kata yang tepat dan sesuai. Melalui kata-kata itu pengarang menghendaki agar pembaca dapat merasakan seperti apa yang dirasakannya. Tetapi kebanyakan orang kesulitan dalam memahami isi puisi karena bahasanya yang kadang bersifat konotatif, maka maksud pengarang yang dituangkan dalam puisi, terbaur olah kemungkinan arti yang berbeda. Untuk memahami, menganalisis menafsirkan sebuah puisi harus hati-hati dan cermat. Segenap indera dan perasaan harus dicurahkan untuk mencair atau mendekati kemungkinan yang paling dekat dengan maksud pengarang.
Wellek, dalam Pradopo (1995:14) mengemukakan bahwa puisi (sajak) sesungguhnya harus dimengerti sebagai struktur norma-norma. Norma ini harus dipahami sebagai norma implist yang harus ditarik dari setiap pengalaman individu karya sastra dan bersama-sama merupakan karya sastra yang murni sebagai keseluruhan. Untuk itu dibutuhkan suatu teori yang dapat mengungkapkan norma-norma yang terdapat dalam puisi.
A.    Analisi Strata Norma Puisi
Analisis sastra norma merupakan salah satu analisis sederhana dan mudah dilakukan. Menurut Roman Ingarden (dalam Prodopo, 1995:15), strata norma karya sastra puisi terbagi atas:
1.      Lapis Bunyi (sound stratum) adalah lapis bunyi (sound stratum). Bila orang membaca puisi, maka yang terdengar adalah serangkaian bunyi yang dibatasi jeda pendek, agak panjang, dan panjang.
2.      Lapis Arti (units of meaning), timbul dari lapis bunyi, karena bunyi-bunyi yang ada pada puisi bukanlah bunyi tanpa arti. Bunyi-bunyi itu disusun sedemikian rupa menjadi satuan kata, frase, kalimat, dan bait yang menimbulkan makna yang dapat dipahami oleh pembaca.
3.      Lapis Objek, Makana atau arti yang terkandung dalam sajak itu dapat berupa latar, pelaku dan dunia pengarang. Lapis ini akan menimbulkan lapis keempat dan kelima;lapis duania penyair dan lapis metafisis.
4.      Lapis Dunia Penyair, lapis ini secara imlpisit mengungakapkan adanya dunia yang dipandang dari titik pandang penyair. Dunia yang dilihat dari sisi subjektif pengarang, interpretasi, sikap, pendirian penyair.
5.      Lapis Metafisis, lapis ini secara implisit mengungkapkan sifat-sifat yang sublim, tragis atau suci. Lapis ini bila terdapat dalam puisi akan menyebabkan pembaca atau pendengar berkontemplasi atau merenung. Perenungan itulah yang nantinya akan sampai pada suatu kesimpulan pembaca mengenai apa yang disampaikan penyair.

Puisi merupakan karya sastra yang memiliki struktur yang sangat kompleks yang terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya, yang dijelaskan oleh Rene Wellek sebagai berikut :
Lapis norma pertama adalah lapis bunyi (sound stratum). Bila orang membaca puisi, maka yang terdengar adalah serangkaian bunyi yang dibatasi jeda pendek, agak panjang, dan panjang.
Lapis pertama yang berupa bunyi tersebut mendasari timbulnya lapis kedua, yaitu lapis arti (units of meaning), karena bunyi-bunyi yang ada pada puisi bukanlah bunyi tanpa arti. Bunyi-bunyi itu disusun sedemikian rupa menjadi satuan kata, frase, kalimat, dan bait yang menimbulkan makna yang dapat dipahami oleh pembaca.
Rangkaian satuan-satuan arti tersebut menimbulkan lapis ketiga berupa unsur intrinsik dan ekstrinsik puisi, misalnya latar, pelaku, lukisan-lukisan, objek-objek yang dikemukakan, makna implisit, sifat-sifat metafisis, dunia pengarang dan sebagainya.
Untuk menjelaskan penerapan analisis strata norma tersebut berikut diberikan sebuah contoh.
CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
Angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya
                                                                                      
Di air yang terang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertahta, sambil berkata :
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa ajal memanggil dulu
sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri
(Chairil Anwar)


1.  Analisis lapis pertama (bunyi/sound stratum)

Pembahasan lapis bunyi hanyalah ditujukan pada bunyi-bunyi yang bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu bunyi-bunyi yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni. Misalnya pada baris pertama puisi di atas ada asonansi a dan u;  di baris kedua ada aliterasi s (gadis manis sekarang iseng sendiri). Demikian juga pada bait kedua ada asonansi a (melancar – memancar – si pacar – terang – terasa); dan ada pula aliterasi l dan r (melancar – bulan memancar – laut terang – tapi terasa).
Kecuali asonansi dan aliterasi, terdapat pula rima teratur yang digarap dengan sangat mengesankan oleh Chairil Anwar. Bait 1 dan bait terakhir mempunyai rima yang sama (a b), yang nampaknya mengapit bait-bait di antaranya yang berpola rima   a a – bb. Rima konsonan memancar – si pacar dipertentangkan dengan rima terasa – padanya yang merupakan bunyi vokal. Rima kutempuh – merapuh (konsonan) dipertentangkan dengan rima vokal dulu – cintaku.        
Rima yang berupa asonansi dan aliterasi pada puisi di atas berfungsi sebagai lambang rasa (klanksymboliek) sehingga menambah keindahan puisi dan memberi nilai rasa tertentu.
     Asonansi
Pengulangan bunyi vokal pada sebuah baris yang sama.
     Aliterasi
1.   Pengulangan bunyi konsonan dari kata-kata yang berurutan.
2.   Sajak/rima awal.

2.      Analisis lapis kedua (arti/units of meaning)

Dalam kegiatan menganalisis arti, kita berusaha memberi makna pada bunyi, suku kata, kata, kelompok kata, kalimat, bait, dan pada akhirnya makna seluruh puisi. Sebagai contoh, berikut ini adalah analisis makna per kalimat, per bait dan akhirnya makna seluruh puisi ‘Cintaku Jauh di Pulau’.

Bait I Cintaku jauh di pulau berarti kekasih tokoh aku berada di pulau yang jauh. Gadis manis sekarang iseng sendiri artinya sang kekasih tersebut adalah seorang gadis yang manis yang menghabiskan waktu  sendirian (iseng) tanpa kehadiran tohoh aku.
Pada bait II, si tokoh aku menempuh perjalanan jauh dengan perahu karena ingin menjumpai kekasihnya. Ketika itu cuaca sangat bagus, namun hati si aku merasa gundah karena rasanya ia tak akan sampai pada kekasihnya.
Bait III menceritakan perasaan si aku yang semakin sedih karena walaupun air terang, angin mendayu, tetapi  pada perasaannya ajal telah memanggilnya (Ajal bertahta sambil berkata : “Tujukan perahu ke pangkuanku saja”).
Bait IV menunjukkan si aku putus asa. Demi menjumpai kekasihnya ia telah bertahun-tahun berlayar, bahkan perahu yang membawanya akan rusak, namun ternyata kematian menghadang dan mengakhiri hidupnya sebelum ia bertemu dengan kekasihnya.
Bait V merupakan kekhawatiran si tokoh aku tentang kekasihnya, bahwa setelah ia meninggal, kekasihnya itupun akan mati juga dalam penantian yang sia-sia.

Setelah kita menganalisis makna tiap bait, kita pun harus sampai pada makna lambang yang diemban oleh puisi tersebut. Kekasih tokoh aku adalah kiasan dari cita-cita si aku yang sukar dicapai. Untuk meraihnya si aku harus mengarungi lautan yang melambangkan perjuangan. Sayang, usahanya tidak berhasil karena kematian telah menjemputnya sebelum ia meraih cita-citanya.

3.      Analisis lapis ketiga (objek-objek, latar, pelaku, ‘dunia pengarang’ dan lain-lain)

Lapis arti menimbulkan lapis ketiga berupa objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, ‘dunia pengarang’, makna implisit, dan metafisis.
Pada puisi ‘Cintaku Jauh di Pulau’, objek yang dikemukakan adalah cintaku, gadis manis, laut, pulau, perahu, angin, bulan, air laut, dan ajal. Pelaku atau tokohnya adalah si aku , sedang latarnya di laut pada malam hari yang cerah dan berangin.
Jika objek-objek, latar, dan pelaku yang dikemukakan dalam puisi digabungkan, maka  akan menghasilkan ‘dunia pengarang’ atau isi puisi. Ini merupakan dunia (cerita) yang diciptakan penyair di dalam puisinya.
Contoh, berdasarkan puisi ‘Cintaku Jauh di Pulau’ kita dapat menuliskan ‘dunia pengarang’ sebagai berikut :
Kekasih tokoh aku (gadis manis) berada di suatu tempat yang jauh. Karena ingin menemuinya, pada suatu malam ketika bulan bersinar dan cuaca bagus, si aku berangkat dengan perahu. Akan tetapi, walaupun keadaan sangat baik untuk berlayar (laut terang, angin mendayu), namun si aku merasa ia tak akan sampai pada kekasihnya itu. Pelayaran selama bertahun-tahun, bahkan sampai perahunya akan rusak, nampaknya tidak akan membuahkan hasil karena ajal lebih dulu datang. Ia membayangkan, setelah ia mati kekasihnya juga akan mati dalam kesendirian.
Ada pula makna implisit yang walaupun tidak dinyatakan dalam puisi namun dapat dipahami oleh pembaca. Misalnya kata ’gadis manis’ memberi gambaran bahwa pacar si aku ini sangat menarik.
Dalam puisi tersebut terasa perasaan-perasaan si aku : senang, gelisah, kecewa, dan putus asa.
Kecuali itu ada unsur metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi. Dalam puisi di atas, unsur metafisis tersebut berupa ketragisan hidup manusia, yaitu meskipun segala usaha telah dilakukan disertai sarana yang cukup, bahkan segalanya berjalan lancar, namun manusia seringkali tak dapat mencapai apa yang diidam-idamkannya karena maut telah menghadang lebih dahulu. Dengan demikian, cita-cita yang hebat dan menggairahkan akan sia-sia belaka.


B.     Analisis berdasarkan Strata Norma, Semiotika dan Fungsi Estetik
Menganalisis puisi tidak cukup berdasarkan strata norma saja. Agar analisis lengkap dan mendalam, perlu menggabungkan analisis strata norma dengan analisis semiotik dan fungsi estetik setiap unsur yang membangun puisi tersebut.
Analisis semiotik memandang karya sastra, dalam hal ini puisi, sebagai sistem tanda yang bermakna. Tiap-tiap fenomena (unsur puisi) diyakini mempunyai makna atau arti, sehingga menganalisis puisi sampai menemukan makna yang dimaksud merupakan suatu keharusan. Kecuali itu fungsi estetik setiap unsur dalam puisi juga perlu dibahas.  
Menganalisis puisi berdasarkan strata norma yang dihubungkan dengan semiotik dan fungsi estetik, pada umumnya menyangkut masalah bunyi dan kata.
1.   Bunyi

Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Kecuali itu bunyi juga bertugas memperdalam makna, menimbulkan suasana yang khusus, menimbulkan perasaan tertentu, dan menimbulkan bayangan angan secara jelas.
Demikian pentingnya peranan bunyi dalam puisi, sehingga dalam perjalanannya ada puisi-puisi yang sangat menonjolkan unsur bunyi. Misalnya saja Sajak Hugo Bal yang diterjemahkan dengan judul ‘Ratapan Mati’, secara keseluruhan hanya berupa rangkaian bunyi ‘kata-kata’ tanpa arti. Bahkan di Indonesia pada masa lampau dikenal bentuk puisi mantera dan serapah yang memanfaatkan kekuatan bunyi. Di masa modern ini, dipelopori Sutardji Calzoum Bachri, muncul puisi-puisi yang menomorsatukan peranan bunyi. Dalam hal ini bunyi-bunyi yang dipakai disusun sedemikian rupa, sehingga menimbulkan daya evokasi (daya kuat untuk membentuk pengertian). Contoh :

SEPISAUPI
(Sutardji Calzoum Bachri)

sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi

sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri

sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya kedalam nyanyi


Walaupun puisi di atas seolah-olah merupakan permainan bunyi belaka, namun jika kita teliti, bunyi-bunyi yang dipakai oleh Sutardji ternyata diolah dengan sangat baik, sehingga memiliki daya evokasi. 
Berikut ini dikemukakan fungsi bunyi dalam mendukung suasana, perasaan, dan imaji pada puisi.
Efoni (euphony) : bunyi yang merdu dan indah.
Vokal a, i, u, e, o
Konsonan bersuara b, d, g, j
Bunyi liquida r, l
Bunyi sengau m, n, ng, ny
Bunyi aspiran s, h
Suasana mesra, penuh kasih sayang, gembira, bahagia.
Kakofoni (cacophony) : bunyi yang tidak merdu, parau
- Dominasi bunyi-bunyi k, p, t, s.
- Rima puisi sangat tidak teratur
Suasana kacau, tidak teratur, tidak menyenangkan.

Vokal e, i
Konsonan k, p, t, s, f

- Perasaan riang, kasih, suci
- imaji : kecil, ramping, 
  ringan, tinggi. 

Vokal a, o, u
Konsonan b, d, g, z, v, w
- Perasaan murung, sedih, 
  gundah, kecewa.
- imaji : bulat, berat, besar,
  rendah.

2.   Kata

Walaupun ada penyair yang menonjolkan bunyi dan mengabaikan peranan kata dalam puisi ciptaannya (misalnya Sajak Hugo Bal), namun tidak dapat dipungkiri bahwa kata sampai saat ini masih merupakan sarana yang sangat penting dalam penciptaan puisi. Bagaimanapun juga, pada umumnya penyair mencurahkan pengalaman jiwanya melalui kata-kata.
Dalam menganalisis puisi, perlu dibahas arti kata dan efek yang ditimbulkannya, misalnya arti denotatif, arti konotatif, kosa kata, diksi, citraan, faktor ketatabahasaan, sarana retorika, dan hal-hal yang berhubungan dengan struktur kata atau kalimat puisi.
Kata-kata yang digunakan oleh penyair disebut Slamet Mulyana sebagai kata berjiwa. Dalam kata berjiwa ini sudah dimasukkan unsur suasana, perasaan-perasaan penyair, dan sikapnya terhadap sesuatu.
Nampaknya penyair mempergunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Ini terjadi karena puisi sebagai ungkapan jiwa. Penyair menghendaki agar pembaca dapat turut merasakan dan mengalami seperti apa yang dirasakan penyair. Misalnya saja sajak Toto Sudarto Bachtiar berikut ini :

PAHLAWAN TAK DIKENAL

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dalam bait puisi tersebut, kata-kata yang dipergunakan menyiratkan pancaran sikap sopan dan rasa hormat kepada pahlawan. Apabila dikatakan ia mati tertembak, rasanya kurang hormat meskipun hakikatnya sama saja dengan kalimat …dia terbaring, tetapi bukan tidur. Demikian juga diksi Sebuah lubang peluru bundar di dadanya memberi gambaran tentang kematian yang indah dan bersih. Padahal kenyataannya pastilah tidak seperti itu. Tentu ada darah yang berlepotan, tidak tersenyum melainkan menyeringai kesakitan. Penyair menggunakan pilihan kata tersebut sebagai ungkapan jiwanya yang menghargai pengorbanan pahlawan. Kalimat Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang menyatakan keikhlasan sang pahlawan dalam membela tanah air sampai titik darah penghabisan.
Untuk memaksimalkan kepuitisan karya, biasanya penyair memanfaatkan kemampuannya dalam memilih kata setepat mungkin, memasukkan kata-kata/kalimat yang konotatif dan mempergunakan gaya bahasa tertentu.   
Pilihan kata penyair sangat membantu imajinasi pembaca. Semakin konkret kata-kata dalam puisi, semakin tepat citraan yang ditimbulkannya. Misalnya pada salah satu bait puisi ‘Balada Penyaliban’ karya W.S. Rendra tertulis Tiada mawar-mawar di jalanan / tiada daun-daun palma / domba putih menyeret azab dan dera / merunduk oleh tugas teramat dicinta /  dst.
Kata menyeret merupakan gaya bahasa yang mengkonkretkan seolah-olah ‘azab’ dan ‘dera’ dapat dilihat dan terasa berat. Hal itu memberi citraan penglihatan dan perasaan yang sangat dalam. Pembaca seolah-olah melihat sendiri jalanan yang kering tanpa tumbuhan dan sosok Yesus yang digambarkan sebagai domba putih yang tertatih-tatih menyeret beban amat berat. Dengan demikian, untuk ‘menghidupkan’ puisi, penyair dapat memanfaatkan gaya bahasa (misalnya personifikasi, metafora, hiperbola dan lain-lain) dan pilihan kata yang tepat. 
Ada puisi-puisi yang kosakatanya diambil dari bahasa sehari-hari. Hal tersebut  memberikan efek gaya yang realistis. Sebaliknya, penggunaan kata-kata indah memberi efek romantis.
Setelah menganalisis puisi tahap demi tahap, kita dapat menyimpulkan tema puisi, amanat/pesan, sikap penyair (feeling) dan nada puisi (tone). Tema adalah ide/ gagasan/pokok masalah yang disampaikan penyair melalui puisinya; amanat/pesan adalah nilai-nilai yang terkandung dalam puisi yang dapat dipetik oleh pembaca; sikap penyair adalah perasaan/sikap penyair terhadap tema yang ‘digarapnya’ dalam puisi (misalnya benci, kagum, antipati, simpati dan lain-lain); nada adalah cara penyair mengemukakan sikapnya (misalnya marah, keras, menyindir, putus asa, riang, penuh kekaguman dan sebagainya)

BAB V
MODEL PEMBELAJARAN APRESSIASI PUISI

            Puisi adalah seni dari segala seni, adalah kutipan dari perkataan Popo Iskandar seorang pelukis dan budayawan dari Bandung. Puisi adalah pernyataan dari keadaan atau kualitas hidup manusia. Membaca puisi berarti berusaha menyelami diri sampai ke intinya.
Apabila seseorang ingin menikmati puisi, ia harus memiliki kemampuan untuk menempatkan dirinya sebagai penyair.
Ada sebuah cerita. Tersebut sang penyair Moh. Iqbal kelahiran Sialkot – Punjab 22 Februari 1873, keturunan dari Brahmana yang berasal dari Kashmir. Ia membacakan sebuah puisi karyanya di depan seorang filosof besar Prancis, yang ketika itu sakit lumpuh dan ia dapat terlompat berdiri dari kursinya, karena tergugah oleh keadaan isi puisi sang penyair (judul: LA TASUBU DZAHRA – Jangan Melalaikan Waktu). Isi puisi itu mengambil tema dari hadist Nabi.
Timbul pertanyaan pada diri kita, mengapa bisa terjadi seperti itu? Jawabnya tidak lain adalah, karena karya cipta sastra (terutama puisi) lebih dekat dengan kehidupan kita. Puisi digali dari kehidupan. Jadi, antara hidup dan puisi tak ada jarak pemisah, hidup adalah manifestasi puitis.
“Saya mencintai puisi,” kata sang penyair, “sebagaimana saya mencintai hidup ini.”
Bagaimana kita membaca puisi dengan baik dan sampai sasaran/tujuan makna dari puisi yang kita baca sesuai maksud Sang Penyair? Ada beberapa tahapan yang harus di perhatikan oleh sang pembaca puisi, antara lain:
1.      Interpretasi (penafsiran/pemahaman makna puisi)
Dalam proses ini diperlukan ketajaman visi dan emosi dalam menafsirkan dan membedah isi puisi. Memahami isi puisi adalah upaya awal yang harus dilakukan oleh pembaca puisi, untuk mengungkap makna yang tersimpan dan tersirat dari untaian kata yang tersurat.
2.      Vocal
a.       Artikulasi : Pengucapan kata yang utuh dan jelas, bahkan di setiap hurufnya.
b.      Diksi : Pengucapan kata demi kata dengan tekanan yang bervariasi dan rasa.
c.       Tempo : Cepat lambatnya pengucapan (suara). Kita harus pandai mengatur dan menyesuaikan dengan kekuatan nafas. Di mana harus ada jeda, di mana kita harus menyambung atau mencuri nafas.
d.      Dinamika : Lemah kerasnya suara (setidaknya harus sampai pada penonton, terutama pada saat lomba membaca puisi). Kita ciptakan suatu dinamika yang prima dengan mengatur rima dan irama, naik turunnya volume dan keras lembutnya diksi, dan yang penting menjaga harmoni di saat naik turunnya nada suara.
e.       Modulasi : mengubah (perubahan) suara dalam membaca puisi.
f.       Intonasi : tekanan dan laju kalimat.
g.      Jeda : pemenggalan sebuah kalimat dalam puisi.
h.      Pernafasan : biasanya, dalam membaca puisi yang digunakan adalah pernafasan perut.
3.      Penampilan
Salah satu factor keberhasilan seseorang membaca puisi adalah kepribadian atau performance diatas pentas. Usahakan terkesan tenang, tak gelisah, tak gugup, berwibawa dan meyakinkan (tidak demam panggung).
a.    Gerak : gerakan seseorang membaca puisi harus dapat mendukung isi dari puisi yang dibaca. Gerak tubuh atau tangan jangan sampai klise.
b.   Komunikasi : pada saat kita membaca puisi harus bias memberikan sentuhan, bahkan menggetarkan perasaan dan jiwa penonton.
c.    Ekspresi : tampakkan hasil pemahaman, penghayatan dan segala aspek di atas dengan ekspresi yang pas dan wajar.
d.   Konsentrasi: pemusatan pikiran terhadap isi puisi yang akan kita baca.
Dengan pemaparan tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa membaca puisi bukan sekedar menyampaikan arus pemikiran penyair, tapi kita juga harus menghadirkan jiwa sang penyair. Kita harus menyelami dan memahami proses kreatif sang penyair, bagaimana ia dapat melahirkan karya puisi.

A.    Pembelajaran Membaca Puisi
            Seperti bentuk karya sastra lain, puisi mempunyai ciri-ciri khusus. Pada umumnya penyair mengungkapkan gagasan dalam kalimat yang relatif pendek-pendek serta padat, ditulis berderet-deret ke bawah (dalam bentuk bait-bait), dan tidak jarang menggunakan kata-kata/kalimat yang bersifat konotatif.
            Kalimat yang pendek-pendek dan padat, ditambah makna konotasi yang sering terdapat pada puisi, menyebabkan isi puisi seringkali sulit dipahami.  Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah sebagai berikut untuk mengapresiasi puisi, terutama pada puisi yang tergolong ‘sulit’ :
1.      Membaca puisi berulang kali
2.      Melakukan pemenggalan dengan membubuhkan :
- Garis miring tunggal ( / ) jika di tempat tersebut diperlukan tanda baca koma.
- Dua garis miring ( // ) mewakili tanda baca titik, yaitu jika makna atau pengertian kalimat sudah tercapai.
3.   Melakukan parafrase dengan menyisipkan atau menambahkan kata-kata yang dapat memperjelas maksud kalimat dalam puisi.
4.   Menentukan makna kata/kalimat yang konotatif (jika ada).
5.   Menceritakan kembali isi puisi dengan kata-kata sendiri dalam bentuk prosa.

            Berbekal hasil kerja tahapan-tahapan di atas, unsur intrinsik puisi seperti tema, amanat/ pesan, feeling, dan tone dapat digali dengan lebih mudah. Berikut ini diberikan sebuah contoh langkah-langkah menganalisis puisi.

MATA PISAU
Mata pisau itu tak berkejap menatapmu;
kau yang baru saja mengasahnya
berpikir : ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu
(Sapardi Djoko Damono)

Tahap I      :   Membaca puisi di atas berulang kali (lakukanlah!)

Tahap II    :   Melakukan pemenggalan
MATA PISAU
Mata pisau itu / tak berkejap menatapmu;//
kau yang baru saja mengasahnya /
berpikir : // ia tajam untuk mengiris apel /
yang tersedia di atas meja /
sehabis makan malam //
ia berkilat / ketika terbayang olehnya urat lehermu //
(Sapardi Djoko Damono)

Tahap III   :   Melakukan parafrase
MATA PISAU
Mata pisau itu / tak berkejap menatapmu;//
(sehingga) kau yang baru saja mengasahnya /
berpikir : // (bahwa) ia (pisau itu) tajam untuk mengiris apel /
yang (sudah) tersedia di atas meja /
(Hal) (itu) (akan) (kau) (lakukan) sehabis makan malam //
ia (pisau itu) berkilat / ketika terbayang olehnya urat lehermu //
(Sapardi Djoko Damono)

Tahap IV   :   Menentukan makna konotatif kata/kalimat
pisau       :  sesuatu yang memiliki dua sisi, bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang positif, bisa  pula disalahgunakan sehingga menghasilkan sesuatu yang buruk, jahat, dan mengerikan.
apel         :  sesuatu yang baik dan bermanfaat.
terbayang olehnya urat lehermu   :  Sesuatu yang mengerikan.
Tahap V    :   Menceritakan kembali isi puisi
         Berdasarkan hasil analisis tahap I – IV di atas, maka isi puisi dapat disimpulkan sebagai berikut :
         Seseorang terobsesi oleh kilauan mata pisau. Ia bermaksud akan menggunakannya nanti malam untuk mengiris apel. Sayang, sebelum hal itu terlaksana, tiba-tiba terlintas bayangan yang mengerikan. Dalam hati ia bertanya-tanya, apa jadinya jika mata pisau itu dipakai untuk mengiris urat leher!
         Dari pemahaman terhadap isi puisi tersebut, pembaca disadarkan bahwa tajamnya   pisau memang dapat digunakan untuk sesuatu yang positif (contohnya mengiris apel),  namun dapat juga dimanfaatkan untuk hal yang negatif dan mengerikan (digambarkan  mengiris urat leher).
         Dengan memperhatikan hasil kerja tahap 1 hingga 5, dapat dikemukakan unsur-unsur intrinsik puisi “Mata Pisau” sebagai berikut :
No.
Definisi
“Mata Pisau”

1

Tema     :  Gagasan utama penulis
                 yang dituangkan dalam
                 karangannya.

Sesuatu hal dapat digunakan  untuk kebaikan (bersifat positif), tetapi sering juga disalahgunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif. Contoh : anggota tubuh, kecerdasan, ilmu dan teknologi, kekuasaan dll.

2

Amanat  :  Pesan moral yang ingin  
                 disampaikan penulis
                 melalui karangannya

Hendaknya kita memanfaatkan segala hal yang kita miliki untuk tujuan positif supaya hidup kita punya makna

3

Feeling   :  Perasaan/sikap 
                  penyair terhadap
                  pokok persoalan  yang
                 dikemukakan dalam
                 puisi.  

Penyair tidak setuju pada tindakan seseorang yang memanfaatkan sesuatu yang dimiliki untuk tujuan-tujuan negatif.


4

Nada      : Tone yang dipakai 
                 penulis 
                 dalam mengungkapkan
                 pokok pikiran.

Nada puisi “Mata Pisau” cenderung datar, tidak nampak luapan emosi penyairnya.

         Kecuali keempat point di atas, perlu diperhatikan juga citraan (image) dan gaya bahasa yang terdapat dalam puisi. 

B.     Pembalajaran Menulis Puisi
Puisi merupakan karya sastra imajinatif dari seorang pengarang. Puisi tercipta oleh pengarang dengan mengungkapkan isi perasaan, pikiran dan emosi ke dapal bentuk puisi. Puisi akan memliliki nilai estetika (keidahan) jika puisi dilahirkan dengan perasaan dan imajinasi pengarang yang baik. Proses kelahiran ini ada beberapa tahap, antara lain :
1.      Tahap Mengungkapkan Fakta Diri
Puisi pada tahap ini, biasanya lahir berdasarkan observasi pada sekitar diri sendiri, terutama pada faktor fisik. Misalnya pada saat berkaca, akan lahir puisi :
 Lelaki ganteng
kau memang ganteng
berkulit legam bukan berarti hitam
berambut ikal bukan berarti
tak bisa diluruskan
bisa, walau tak terlalu lama
2.      Tahap Mengungkapkan Rasa Diri
Pada tahap ini akan lahir puisi yang mampu mengungkapkan rasa atau perasaan diri sendiri atas obyek yang bersinggungan atau berinteraksi. Perasaan yang terungkap bisa berupa sedih, senang, benci, cinta, patah hati, dan lain-lain, misalnya tatkala melihat meja, akan bisa lahir puisi :
Mejaku sayang
kakimu menghunjam,
luruh rapuh termakan usia,
takmampu kuganti yang baru,
ribuan puisi telah lahir dari dadamu
ku kan selalu sayang pada mu, sahabatku
3.      Tapan Mengungkapkan Fakta Objek Lain
Pada tahap ini puisi dilahirkan berdasarkan fakta-fakta di luar diri dan dituliskan begitu saja apa adanya, tanpa tambahan kata bersayap atau metafora, misalnya tatkala melihat meja, kemudian muncul gagasan untuk menulis puisi :
Meja tulis,
kakimu empat,
tanpa kuping tanpa mata.
hanya kayu persegi empat
Tatkala mendengar lagu, akan terlulis puisi :
Nyanyian Rindu,
lagu yang bagus,
suara yang merdu
penyanyinya muda belia
4.      Tahap Mengungkapkan Rasa Objek Lain
Pada tahap ini penulis puisi mencoba berusaha mengungkapkan perasaan suatu obyek, baik perasaan orang lain maupun benda-benda di sekitarnya yang seolah-olah menjelma menjadi manusia. Misalnya tatkala melihat orang muda bersandar di bawah pohon rindang, dapat terlahir puisi seperti di bawah ini.
Semilir Damai
sepoi kantuk memberat
tangan berpeluh kering
ranting menjuntai gembira ria
menghibur yang berdamai santai
mengembara terlena mimpi yang fana
5.      Tahapan Mengungkapkan Kehadiran Yang Belum Hadir
Pada tahap ini puisi sudah merupakan hasil kristalisasi yang sangat mendalam atas segala fakta, rasa dan analisa menuju jangkauan yang bersifat lintas ruang dan waktu, menuju kejadian di masa depan. Mengungkapkan Kehadiran yang belum hadir artinya melalui puisi, puisi dipandang mampu untuk menyampaikan gagasan dalam menghadirkan yang belum hadir, yaitu sesuatu hal yang pengungkapannya hanya bisa melalui puisi, tidak dengan yang lain. Misalnya cita-cita anak manusia, budaya dan gaya hidup masyarakat di masa depan, dan lain-lain. Salah satu contoh yang menarik adalah lahirnya puisi paling tegas dari para pemuda Indonesia, tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta, atas prakarsa Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) ,dalam :
SOEMPAH PEMUDA
PERTAMA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia.
KEDOEA.  Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia.
KETIGA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia.
Begitulah kira-kira bunyi sumpah pemuda kala itu. Saat Sumpah pemuda yang berbentuk puisi ini diikrarkan, bangsa Indonesia masih tersekat-sekat dalam kebanggaan masing-masing suku, ras dan bahasa serta masih dijajah oleh kolonial Belanda. Melalui Puisi Sumpah Pemuda, lambat laun terjadi pencerahan pada seluruh komponen bangsa akan pentingnya persatuan, sehingga jiwa persatuan itu sanggup dihadirkan di dalam setiap individu bangsa Indonesia, meskipun kemerdekaan dan persatuan belum terwujud. Dan menunggu sampai dengan di raihnya kemerdekaan Republik Indonesia 17 agustus 1945.


BAB VII
ANALISIS STUKTURAL DAN SEMIOTIK

A.    Analisis Strukural
Sebuah sajak/puisi kesatuan yang utuh. Maka pembicaraanya pun tidak cukup juga dipisah-pisahkan. Olah karena itu setelah membahas mengenai stuktur fisik dan batin pusi dilanjutkan dengan strata norma pusi maka harus diteruskan pembahasannya mengenai tinjauan puisi secara menyeluruh, sehingga dapat diketahui hubungan antara unsur-unsur, norma-normanya dan hubungan keseluruhannya sebagai suatu kesatuan yang utuh. Hal ini disebabkan norma-norma puisi itu saling berhubungan erat, saling menentukan maknanya. Dengan dianalisis secara menyeluruh dan dalam kaitanya yang erat, maka makna sajak dapat ditangkap dan dipahami (Prodopo 200:118).
Makna puisi ditentukan olah kohesi norma-norma atau unsur-unsur puisi. Untuk memahami makna puisi harus dianalisis secara struktural, yaitu analisis yang melihat bahwa unsur-unsur stuktur puisi itu saling berkaitan, berhubungan secara erat, dan menentukan arti. Disamping itu, karena puisi itu merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna dan bersistem, maka analisis juga disatukan dengan analisis semiotika. Jadi dapat disimpulkan untuk mendapatkan makna yang seutuhnya diperlukan analisis secara struktural dan semiotik, bahkan ditambahkan dengan analisi menggunakan stilistika atau gaya bahasa.
Struktur menurut Pieget (melalui Hawkes 1978:16) terlihat adanya rangkaian kesatuan yang melipiti tiga ide dasar, yaitu ide kesatuan, ide transformasi, dan ide pengaturan diri sendiri (self regulation).
Menurut Pradopo (2002:120) menyimpulkan bahwa analisis struktural puisi adalah analisis puisi ke dalam unsur-unsurnya fungsinya dalam stuktur puisi dan penguraian bahwa tiap unsur itu mempunyai makna hanya dalam kaitannya dengan unsur-unsur lainnya, bahkan juga bedasarkan tempatnya dalam stuktur.

B.     Semiotika
Semiotika merupakan salah satu alternatif untuk mengkaji karya sastra yang memfokuskan diri pada hubungan antara penanda dan petanda dalam memahami  (Santoso 1993:1). Kata semiotik diturunkan dari bahasa Inggris semiotes yaitu ilmu tentang tanda. Istilah lain semiotik adalah semiotik dan semiologi.
Beberapa pakar sastra telah memberikan batasan mengenai semiotik. Teeuw (1982:18) menjelaskan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi. Hatoko (1984:42) memberikan batasan semiotik adalah penafsiran terhadap karya sastra melalui tanda-tanda atau lambang-lambang. Wiryaatmadja (1981:4) menyatakan bahwa semiotik adalah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda dalam maknanya yang luas di masyarakat, baik yang lugas (literal) maupun kias (figutratif)­, baik yang menggunakan bahasa maupun nonbahasa.
Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti. Medium karya sastra bukanlah bahan yang bebas (netral) seperti bunyi pada seni musik atau warna pada lukisan. Lambang-lambang atai tanda-tanda kebahasaan itu berupa satuan-satuan bunyi yang mempuyai arti oleh konvensi masyarakat. Bahasa itu merupakan sistem tanda yang berdasarkan atau ditentukan oleh konvensi (perjanjian) masyarakat. Sistem ketandaan itu disebut semiotik.
Zoest (1993: 11) menjelaskan ciri penting tanda antara lain, tanda harus dapat diamati agar dapat berfungsi sebgai tanda. Sifat ”dapat diamati”  ini memang ada batasanya, tetapi batas ini tidak dapat dirumuskan dengan tepat. Sebuah tanda agar berfungsi sebagai tanda harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat tampak, tetapi bagaimana hal itu terjadi tidaklah penting. Ciri lain tanda adalah ia menunjuk pada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak hadir. Tanda dilihat sebagai semacam wakil untuk yang tidak hadir tetapi merupakan bagian dari kenyataan. Tanda secara mutlak memilki sifat representatif.
Sifat resepentatif dari tanda mempunyai hubungan langsung dengan sifat interpretatif, karena adanya penafsiran orang yang melihat tanda tersebut. Ciri dasar penting yang lain adalah sesuatu hanya dapat merupakan tanda atas dasar satu dan lain (ground ’dasar, latar’ dari tanda). Segala sesuatu yang dapat diamati atau dapat dibuat teramati, dapat merupakan tanda. Ini berarti bahwa yang dapat merupakan tanda bukanlah hanya benda. Suatu peristiwa atau tidak adanya peristiwa, suatu yang ditentukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan semuanya dapat dianggap sebagai tanda.
Dalam pengertian tanda terdapat dua prinsip, yaitu penanda (signifier) atau yang menendai, yang merupakan bentuk tanda, dan petanda (signified) atau yang ditandai, yang merupakan arti tanda.
Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, ada tiga jenis tanda yang pokok, yaotu ikon, indek dan simbol. Ikon adalah tanda hubungan atara penanda dan petandanya bersifat persamaan bentuk alamiah, misalnya potret orang yang menandai orang yang dipoteret. Segala sesuatu merupakan ikon, karena semua yang ada dalam kenyataan dapat dikaitkan dengan suatu yang lain. Ikon berperan penting dalam dunia sastra, yaitu sebagai pemikat pembaca.
Indeks adalah tanda yang menunjukan adanya hubungan alamiah antara tanda dan penanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat. Misalnya asap itu menandai api, suara itu menendai orang atau sesuatu yang mengeluarkan suara, dsb.
Simbol itu tanda yang tidak menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan antaranya bersifat arbiter, hubungannya berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat.
Bahasa yang merupakan sistem tanda yang kemudian dalam karya sastra menjadi mediumnya itu adalah sistem tanda tingkat pertama, yang disebut meaning (arti). Sedangkan makna tingkat kedua atau arti baru dari sastra arti sastra itu disebut arti dari arti (meaning of meaning).
Makna dalam puisi semata-mata bukan arti bahasanya, melaikan bahasa dan suasana, perasaan, intensitas arti, arti tambahan (konotasi), daya liris, pengertian yang menimbulkan tanda-tanda kebahasaan atau tanda-tanda lain yang ditimbulkan oleh konvensi sastra misalnya topografi, enjambement, sajak, baris, ulangan, dsb.
Puisi secara semiotik merupakan struktur tanda-tanda yang bersistem dan bermakna ditentukan oleh konvensi. Menganalisis sajak adalah usaha untuk menangkap makna sajak, tidak hanya arti bahasanya, melaikan arti tambahan berdasarkan konvensi sastra yang bersangkutan.

Contoh Analisi Strukrural dan Semiotika sajak Cahairil Anwar :
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
 (Chairil Anwar, DCD 1959: 7)   
Kalau si aku meninggal, ia menginginkan jangan ada seorang pun yang bersedih (’merayu’), bahkan juga kekasih atau isterinya.
Tidak perlu juga ada sedu sedan yang merantapi kematian si aku sebab tidak ada gunanya. Si aku ini adalah binatang jalang yang lepas bebas, yang terbuang dari kelompoknya: Ia merdeka tidak mau terikat oleh aturan-aturan yang mengikat, bahkan meskipun ia ditembak; peluru menembus kulitnya, si aku tetap barang dan memberontak terhadap aturan-aturan yang mengikat tersebut. Segala rasa sakit dan penderitaan akan ditanggungkan, ditahan, diatasinya, hingga rasa sakit dan penderitaan itu pada akhirnya akan hilang sendiri.
Si aku akan makin tidak peduli pada segala aturan dan ikatan, halangan, serta penderitaan. Si aku mau hidup seribu tahun lagi. Maksudnya, secara kiasan, si aku menginginkan semangatnya, pikirannya, karya-karya akan hidup selama-lamanya.
Secara stuktural, dengan melihat hubungan antara unsur-unsur dan keseluruhannya, juga berdasarkan kiasan-kiasan yang terdapat di dalamnya, maka dapat ditafsirkan bahwa dalam bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri; ”Ku mau tak seorang kan merayu (bersedih)”.orang lain hendaknya jangan campur tangan akan nasibnya, baik dalam suka mapun duka, maka ”tak perlu sedu sedan itu”. Semua masalah probadi itu urusan sendiri. Dikemukakan secara ekstrim bahwa si aku itu orang yang sebebas-bebasnya (sebagai ”binatang jalang”), tak mau dibatasi olah aturan-aturan yang mengikat. Dengan penuh semangat si aku akan menghadapi segala rintangan (”tembus peluru”, ”bisa dan luka”) dengan kebebasannya yang yang mutlak itu. Makin banyak rintangan makin tak memperdulikannya sebab hanya dengan demikian, ia akan dapat berkarya yang bermutu sehingga pikiran dan semangatnya itu dapat hidup seribu tahun lagi”, berdasar konteksnya kalimat itu harus ditafsirkan sebagai kiasan bahwa yang hidup seribu tahun adalah semangatnya bukan fisiknya.
Dalam kumpulan sajak Chairil Anwar yang lain (KRT), sajak ”Aku” ini berjudul ”Semangat”. Sesungguhnya untuk menyatakan pernyatan sikap kepribadian lebih cocok judul ”Aku”, sedangkan ”Semangat” dapat memberi efek bombastis: semangat-semangatan. Sikap penonjolan kepribadian ini ditandai dengan penyebutan ’aku’ yang berulang-ulang: waktuku, ’ku mau, akau ini, menembus kulitku, aku tetap meradang, kubawa berlali, aku akan lebik tidak peduli, aku mau hidup,.... Dalam KRT (1959) bait ke-1 br.2: ’Kutahu tak seorang kan merayu’. Kata ku tahu mengandung makna dan efek bahwa si aku ini sudah tahu orang lain tak akan memperdulikan dia hingga tak ada orang yang akan bersedih atas kematiannya, bahkan si engkau (kekasih, isterinya) pun tak akan merantapinya. Jadi, ia merasa terasing. Hal ini memberi efek pesimisme dan melankolik. Kalau sajak itu dideklamasikan akan bernada sedih, tak bersemangat. Hal ini berlawanan dengan judulnya ”semangat”. Maka, dalam Deru Campuran Debu diganti dengan ’ku mau. Di sini penyair secara sadar berdasar kemaunnya tak ingin orang lain bersedih atas nasib dirinya. Jadi, bila dideklamasikan sajak itu penuh semangat, bergelora, tidak bersedih. Maka penggantian kutahu menjadi ’ku mau ini secara struktur sangat tepat, memberikan koherensi pada seluruh baris-baris sajak ini, ada keselarasan suasana, sikap dan semangatnya.
Dalam sajak ini kementapan pikiran dan semangat selain ditandai dengan pemilihan kata yang menunjukan ketegasan seperti: ’ku mau, tak perlu sedan itu, aku tetap meradang, aku tetap lebih tidak peduli, dan aku mau hidup seribu tahun lagi; juga ditandai oleh bunyi vokal yang berat: a dan u yang dominan. Pernyataan diri sebagai binatang jalang adalah kejujuruan yang besar, berani melihat diri sendiri dari segi buruknya. Efeknya membuat orang tidak sombong terhadap kehebatan diri sendiri sebab selain orang mempunyai kehebatan juga da cacatnya, ada segi jeleknya dalam dirinya.
Sikap ini dapat dikatakan bertentangan dengan apa yang dikemukakan olah Amir Hamzah dalam ”Padamu Jua”. Amir Hamzah melemparkan kesalahan pada tokoh lain, kesal pada tokoh lain. Tokoh lainya yang binatang, yang cenburu, yang ganas:
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dlam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas.
Nanar aku, gila sasar.
            (bait ke-4, -5)
Sedang Cahairil Anwar
            Aku ini binatang jalang
            Dari kumpulan yang terbuang
            Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Ia sendirilah yang menganggap dirinya binatang jalang, bukan tokoh lain.
Si aku Chairil ini adalah manusia yang terasing, keterasingannya ini memang disengaja oleh dirinya sebagai pertanggungjawaban pribadi: ’Ku mau tak seorang ’kan marayu / Tidak juga kau’. Hal ini karena si aku adalah manusia bebas yang tak mau terikat kepada orang lain: ’Aku ini binatang jalang / Dari kumpulannya terbuang’. Dan si aku ini menentukan ”nasibnya” sendiri, tak mau terikat olah kekuasaan lain: ’Aku mau hidup seribu tahun lagi!’
            Pengakuan dirinya sebagai binatang jalang dan penentuan nasib sendiri: ’aku mau hidup seribu tahun lagi’ adalah merupakan sikap revolusioner terhadap paham dan sikap atau pandangan para penyai yang mendahuluinya (Pujangga Baru).
            Dalam sajak ini intensitas pernyataan dinyatakan dengan sarana retorika yang berupa hiperbola, dikombinasi dengan ulangan (tautologi), serta diperkuat olah ulamgan bunyi vokal a dan u ulangan bunyi lain serta persajakan akhir seperti dibicarakan di atas.
Hiperbola tersebut :
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
......
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Gaya tersebut disertai ulangan bunyi i-i yang lebih menambah intensitas:
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
.....perduli
....lagi
Dengan hiperbola tersebut penonjolan pribadi tampak makin nyata.
            Sajak ”Aku” ini menimbulkan banyak tafsir, bersifat ambigu, hal ini disebabkan oleh ketaklangsungan ucapan dengan cara bermacam-macam. Semuanya itu untuk menarik perhatian, untuk menimbulkan pemikiran, dan untuk memproyeksikan prinsip ekuivalensi dari poros pemilihan ke poros kombinasi (Jakobson, 1978: 363). Di sini dipergunakan penyimpangan arti (distoring) (Riffaterre, 1978:2)” ’kalu sampai waktuku’ dapat berarti ’kalau aku mati; ’tak perlu sedu sedan itu’ dapat berati ’Tak ad gunanya kesedihan itu’. ’Tidak juga kau’ dapat berarti ’Tidak juga engkau anakku, istriku, atau kekasihku’. Semua ini menurut konteksnya. Jadi, ambiguitas arti ini memperkaya arti sajak itu. Ambiguitas arti itu juga disebabkan olah penggantian arti (displacing), yaitu dalam sajak ini banyak dipergunakan bahasa kiasan, di sini dipergunakan metafora, baik metafora penuh maupun implisit. Metafora penuh seperti: ’Aku ini binatang jalang’. Maksudnya, si aku itu sperti binatang jalang yang bebas lepas tidak terikat olah ikatan apa pun.
            Metafora implisit di sini: peluru, luka dan bisa, pedih peri. ’peluru’ untuk mengiaskan serangan, siksaan, halangan, ataupun rintangan. Meskipun si aku terhembus peluru: mendapat siksaan, rintangan, serangan, ataupun halangan-halangan, ia tetap akan meradang, menerjang: melawan dengan keras, berbuat nekat demi kebenarannya. ’Luka dan bisa’ untuk mengiaskan penderitaan yang didapat, yang menimpa. ’Pedih peri’ mengiaskan penderitaan yang didapat, ataupun penderitaan akibat tembusan peluru di kulit si aku (halangan, rintangan, serangan, ataupun siksaan). Dengan kiasan-kiasan itu gambaran menjadi konkret, berupa citra-citra yang dapat diindra, gambaran menjadi nyata, seolah dapat dilihat, dirasakan sakitnya. Di samping itu, kiasan-kiasan tersebut menyebabkan kepadatan sakjak.
            Untuk menyatakan semangat yang bernyala-nyala untuk merasakan hidup yang sebanyak-banyaknya dipergunakan kiasan; ’Aku mau hipud seribu tahun lagi’ jadi, di sini kelihatan gambaran bahwa si aku penuh vitalitas mau mereguk hidup ini selama-lamanya.
Penyimpangan arti (distrorting) dan penggantian arti (displacing) itu menyebabkan sajak ”Aku” ini dapat selalu ”baru” setiap dibaca dengan tafsiran-tafsiran baru yang memperkaya arti sajak ini, yang ditimbulkan oleh kemampuan struktur sajak ini, yang menjadi dinamis oleh ambiguitasnya, oleh polyinterpretabilitasnya.


PUISI-PUISI BAHAN BACAAN

KARANGAN BUNGA
Tiga gadis kecil
Dalam langkah malu – malu
Datang ke Salemba
Sore itu

“Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
siang tadi”
(Tirani, Taufiq Ismail)


BERDIRI AKU
Berdiri aku di senja senyap
Camar melayang menepis buih
Melayah bakau mengurangi puncak
Menjulang datang ubur terkembang

Angin pulang menyejuk bumi
Menepuk teluk mengernpas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun – ayun di atas alas.

Benang raja mencelup ujung
Naik marak mengerak corak
Elang leka sayap tergulung
Dimabuk warna berarak – arak.

Dalarn rupa mahasempurna
Rindu – sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Menyecap hidup bertentu tuju.

Amir Hamzah  (BR, 1959:43)

DOA
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama – Mu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

Cahaya – Mu  panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

Aku hilang bentuk
Remuk

Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku

Di pintu – Mu  mengetuk
Aku tidak bisa berpaling

(Chairil Anwar , Deru Campur Debu, 1959:13)


            GERILYA
Tubuh biru
Tatapan mata biru
Lelaki terguling di jalan

Angin tergantung
Terkecap pahitnya tembakau
Bendungan keluh dan bencana

Tubuh biru
Tatapan mata biru
Lelaki terguling di jalan

Dengan tujuh lubang pelor
Diketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
Melepas kesumatnya

Gadis berjalan di subuh merah
Dengan sayur - mayur di punggung
Melihatnya pertama
Ia beri jeritan manis
dan duka daun wortel.

Tubuh biru
Tatapan mata biru
Lelaki terguling dijalan
Orang – orang kampung mengenalnya
Anak janda berambut ombak
Ditimba air bergantang – gantang
Disiram atas tubuhnya.

Tubuh biru
Tatapan mata biru
Lelaki terguling di jalan

Lewat garbu Belanda dengan berani
Berlindung warna alam
Sendiri masuk kota
Ingin ikut ngubur ibunya

(W.S. Rendra, Balada Orang-Orang Tercinta)


T1RANI
Tirani adalah kata
Yang melahirkankan banyak pengertian
Yang tak berkata

Tirani adalah pikiran
Yang dipindahkan ke dalam slogan
Yang merantai pikiran

Tirani adalah kebebasan
di tengah padang tandus tak bertepi
Yang melumpuhkan kebebasan

Tiram adalah kekuasaan
Yang bertahta di alas segala penggelapan
yang menimbulkan kekuasaan

(MEREKA TELAH BANGKIT, Bur Rasuanto)

KITA ADALAH PEMILIK SYAH REPUBLIK INI
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarli hancur

Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
dalam setiap kalimat yang berakhiran :
“Duli Tuhanku” ?
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu yang di tepi jalan
Mengacungkan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta  berun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya – tanya diarn inikah yang namanya merdeka
Kita yang tak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara

Tak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus

(ANGKATAN 66, hal. 156)


SESUDAH DIBAJAK
Aku merasa bajakMu menyayat
Sedih seni mengiris kalbu
Pedih pilu jiwa rnengaduh,
Gemetar menggigil tulang seluruh,

Dalam duka semesra ini
Betapa papa, apakah daya?
Keluh hilang disawung lapang.
Aduh tenggelarn dibisik angin.

Ya Allah, Ya Rabbi,
Hancurkan, remukan sesukau,
Sayat iris jangan kepala.

Umat daif’kedar bermohon,
Semai benih mulia raja,
Dalam tanah sudah dibajak,

(TEBARAN MEGA, St. Takdir Alisyahbana)


AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
 (Chairil Anwar)   


            RAKYAT
            hadiah di hari krida
            buat siswa-siswa SMA Negeri
            Simpang Empat, Pasaman

Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja

Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang siur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka

Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka

Rakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
di darat
hari yang berkeringat
gunung batu berwarna coklat
di laut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wajah semesta

Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa
                                                (Hartoyo Andangjaya)



                        KRAWANG - BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
Tidak bisa teriak merdeka dan angkat senjata lagi

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegab hati?

Kami bicara padamu dalam hening di kelam sunyi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang. Kenanglah kami

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa

Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai., belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami Cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan Kemenangan dan harapan

Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu
Kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskanlah jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir

Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garus batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

                                                (Chairil Anwar)


PETANI
Punggungnya landasan matahari
di atasnya kota demi kota berdiri
Di punggungnya surya besar menempa hari
jadi zaman berangkai zaman
Di punggungnya sejarah membuka jalan, jembatan abadi
bagi peradaban demi peradaban

Peradaban pertama ditulis dengan cangkul
di zaman purbani
Perdaban  pertama dirintis dengan cangkul
diayunkan petani

(Hartoyo Andangjaya)



TUHAN TELAH MENEGURMU
Tuhan telah menegurmu dengan cukup sopan
lewat perut anak-anak yang kelaparan

Tuhan telah menegurmu dengan cukup sopan
lewat semayup suara adzan

Tuhan telah menegurmu dengan cukup menahan kesabaran
lewat gempa bumi yang berguncang
deru angin yang meraung kencang
hujan dan banjir yang melintang pukang

adakah kaudengar?

                                                (Apip Mustopa)

                       

DIPO NEGORO
            Dimasa perkembangan ini
Tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Didepan sekali tuan menenti
Tak gentar. Lawan banyak seratuskali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bias mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercaan tanda menyerbu

Sekali berarti
Sudah itu mati

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api

Punah diatas menghamba
Binasa diatas ditinda

Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terpenjang
(Chairir Anwar, Februari 1943)


SEMANGAT
Kalau sampai waktuku
Kutahu tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu!

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang-menerjang

Luka dan bias kubawa berlari
Berlali

Haingga hilang pedih dan peri,

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.

(Cahairir Anwar, Maret 1943)


HAMPA
kepada sri

Sepi di luar.
Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.



SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...


DIBAWA GELOMBANG
Alun membawa biduku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah ke mana aku tak tahu.

Jauh di atas bintang kemilau,
Seperti sudah berabad-abad.
Dengan damai mereka meninjau
Kehidupan bumi, yang kecil amat

Aku bernyayi dengan suara
Seperti bisikan angin di daun;
Suaraku hialng dalam udara
Dalam laut yang beralun-alun.

Alun membawa biduku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu,
Tidak berpawang tidak berkawan,
Entah ke mana aku tak tahu.
            (Sanusi Pane, 1987)


DALAM  MATAMU
Tanahku saying berhamparkan daun
Bersinar cahaya lemah-gemilang
Dari jauh datang mengalun
Suara menderu selang-menyelang
Renggang rapat berpegang jari
Kita mendaki bukit tanahku
Dinda berkhabar bijak berperi
Kelu kanda karena katamu

Berhenti kita sejurus lalu
Berdekatan duduk sentosa semata
Hatiku sendu merindu cumbu
Kesuma sekali abang kelana.

Hilang himbau air terjun
Bunga rimba bertudung lingkup
Kanda memangku Sekar Suhun
Lampai permai mata tertutup

Remuk redam duka di dada
Dihanyutkan arus dewa bahagia
Menjilma kanda di bibir kesumba
Rasa menginyam madu swarga.

Dalam matamu tentang sentosa
Kanda memungut bungan percaya
Japamantera di kala duka
Pelerai rindu di malam cuaca

Dalam matamu jernih bersih
Kanda kumpulkan mutiara cinta
Akan tajuk mahkota kasih
Kanda sembahkan kepada Bunda.
                        (Amir Hamzah, BR, 1959)


PENERIMAAN
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk!
Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

                  (Debu Campuran Debu, Maret 1943. Chairil Anwar

PERASAAN SENI
Bagaikan banjir gulung-menggulung
Bagaikan topan seruh-menderuh,
            Demikian Rasa
datang semasa,
            Mengalir, menimbu, mendesak, mengepung,
            Memenuhi sukma, menawan tubuh.
           
            Serasa manis sejuknya embun,
            Selagu merdu dersiknya angin,
                        Demikian Rasa
                        datang semasa,
            Membisik, mengajak, aku berpantun,
            Mengayung jiwa ke tempat diingin.

            Jika Kau datang sekuat raksasa
Atau Kau menjilma ke tempat juita,
                        Kusedia hati
                        Akan berbakti.
            Dalam tubuh Kau berkuasa,
            Dalam dada Kau bertakhta!
                                    (J.E. Tatengkeng)



RICK DARI CORONA
Betsyku bersih dan putih sekali
lunak dan halus bagaikan karet busa
Rambutnya merah tergerai
bagai berkas benang-benang rayon warna emas
Dan kakinya sempurna.
singsat dan licin
bagaikan ikan selmon.
Betsy bagai lampu-lampu Brodway
Betsy terbang dengan indah
Bau minyak wanginya menidurkan New Yok
Pejamkan matamu.
Dan bagaikan banyo
mainkanlah aku.
            (W.S. Rendra, 1976)


TERATAI
Kepada Ki Hajar Dewantara
Dalam kebun di tanah airku
Tubuh sekuntum bunga teratai;
Tersembunyi kembang indah permai
Tidak terlihat orang yang lalu

Akarnya tumbuh di hati dunia
Daun bersemi Laksmi mengarang
Biarpun ia diabaikan orang,
Seroja kembang gemilang mulai.

Teruslah, o Teratai Bahagia,
Berseri di kebun Indonesia,
Biar sedikit penjaga taman.

Biarlah engkau tidak dilihat,
Biarlah engkau tidak diminat,
Engkau pun turut menjaga Zaman.
(Sanusi Pane)

KAPAL NUH
Sekali akan turun lagi
kapal Nuh di pelabuhan malam
tanpa kapten
hanya Suara yang berseru ke setiap hati;
“Mari!”
Kita berangkat
berkelamin, laki-istri,
untuk berbiak di tanah baru yang berseri,
juga mahluk yang merengkak
di darat di langit terbang
masuk sejodoh-sejodoh. Masing-masing
mendapat ruang
di haluan, di butiran, di timbaruang.

Kita semua. Sebab Kasih itu murah,
itu baru mulia
yang memancarkan api rahmat
turun termuat.
(Subagio Sastrowardojo)


DALAM GELOMBANG
Alun bergulung naik meninggi,
Turun melambah jauh ke bawah,
Lidah ombak menyerak buih,
Surut kembali di air gemuruh.

Kami mengalun di samud’ra-Mu,
Bersorak gembira tinggi membukit,
Sedih mengaduh jauh ke bawah,
Silih berganti tiada berhenti.

Di dalam suka di dalam duka,
Waktu bah’gia waktu merana,
Masa tertawa masa kecewa,

Kami berbuai dalam nafasmu,
Tiada kuasa tiada berdaya,
Turun naik dalam ‘rama-Mu.
(St. Takdir Alisahbana)


PADAMU JUA
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambat pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Dimana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanarku aku, gila sasar
Saying berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu-bukan giliranku
Mati hari-bukan kawanku…
(Amir Hamzah)

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, Sultan Takdir. 1996. Puisi Baru. Jakarta : Dian Raktyat
Anwar, Chairil. Deru Campur Debu. Jakarta: Pembangun.
____________. 2004. Kerikil Tajam dan yang terlepas dan yang putus. Jakarta : PT. Dian Rakyat
Aminudin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Bandung Algensindo.
Bachri, Sutardji Calzoum. 1981. O, Amuk, Kapak. Jakarta : Sinar Harapan
Darma, Sapardi Djoko. 1983. Perahu Kertas. Jakarta. Balai Pustaka.
Hamzah, Amir. 1959. Nyayian Senyi. Jakarta: Balai Pustaka.
Jassin, H.B. 1985a. Kasusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai I. Jakarta : PT. Gramedia
________. 1985b. Kasusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai IV. Jakarta : PT. Gramedia
Pambudi, Bagas. 2007. Meniti Musim, Kumpulan Puisi Bahan Ajaran (belum diterbitkan).
Prodopo, Rachmat Djoko. 1995. Pengkajian Puisi . Yogyakarta : Gadjah Mada Univetersity Press
Rendra, W.S. 1957. Balada Orang-orang Tercinta. Jakarta : Pustaka Jaya
Sayuti, A. Suminto. 1985. Puisi dan Pengajarannya (sebuah pengantar) : IKIP Semarang Press
Sugono, Dendy. 203. Buku Praktis Bahasa Indonesia 1. Jakarta : Pusat Bahasa Depdiknas
Tatengkeng, J.E. 1974. Rindu Dendam. Jakarta: Pustaka Jaya.
Waluyo, Herman J. 1995. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta : Elangga
http://agepe-lesson.blogspot.com/2008/02/puisi-baru.html
http://agepe-lesson.blogspot.com/2008/02/puisi-lama.html
http://elviana24 wordpress,com/2008/01/31/puisi-lama-puisi-baru/

http://Puisi Pengertian dan Unsur-unsurnya/27 Juli, 2009/Abdur Rosyid.Blog.htm