Selasa, 01 Februari 2011


BANGGA BERBAHASA INDONESIA DENGAN BENAR
SEBAGAI UPAYA PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA

Oleh : M. Sabbardi
***

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi bahasa Indonesia mulai menunjukan eksistensinya dalam bahasa internasional, yakni pada perkembangan globaliasasi sebagai bahasa komunikasi dunia. Sebagai bagian dari masyarakat yang hidup di tengah perkampungan dunia, bangsa kita mustahil akan sanggup menutup diri dari pengaruh asing, termasuk dalam ranah kebahasaan. Bahasa, sepanjang masih dijadikan sebagai media komunikasi, dengan sendirinya akan terus mengalami proses adaptasi budaya.
Proses akulturasi bahasa dan budaya merupakan proses yang wajar terjadi dalam dinamika komunikasi global. Proses saling memengaruhi dan dipengaruhi akan terus terjadi dalam pergaulan antarbangsa secara simultan dan terus-menerus. Kearifan zaman-lah yang akan menjadi filter utama dalam menilai apakah proses akulturasi budaya itu sesuai dengan ranah kepribadian karekter bangsa atau tidak.
Seiring dengan peran Indonesia di tengah kancah perubahan global, bahasa Indonesia idealnya makin terbuka, lentur, dan adaptif terhadap istilah-istilah asing. Kalau memang ada padanan yang tepat untuk menggantikan istilah-istilah asing tersebut ada baiknya segera dimasyarakatkan penggunaannya sehingga tidak sampai terjadi padanan kata tersebut justru terkesan lebih asing daripada istilah asing itu sendiri.
Beberapa contoh kita temukan penggunaan bahasa asing yang dikemukakan oleh para pejabat pemerintah, elit politik, intelektual akademis, bahkan artis. Penggunaan perpaduan BI dengan bahasa asing dikemukan sebagai sebuah pencitraan diri untuk lebih dipandang lebih tinggi kredebilitasnya, dan mungkin saja dipandang lebih bermartabat. Padahal hal tersebut secara kaidah penggunaan bahasa Indonesia tidak dibernakan, dikarenakan hal ini menimbulkan sebuah interfrensi bahasa, maksudnya penyimpangan  dari  norma-norma  bahasa dalam bahasa  yang  digunakan  sebagai  akibat  pengenalan  terhadap  bahasa  lain. Maka untuk  itu kita sebagai generasi bangsa Indonesia seharusnya mau berbangga diri terhadap bahasanya sendiri, yaitu bahasa Indonesia. Yaitu dengan berbahasa yang baik dan benar sesuai kaidah bahasa.

Akultrasi Bahasa Asing terhadap Bahasa Indonesia
Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri.
Perpaduan masuknya bahasa asing kini telah merambat dan menjadikan sebuah hal kebiasaan oleh masyarakat bangsa kita. Sebuah contoh sering kita jumpai penggunaan bahasa asing yang digunakan oleh para seorang pejabat pemerintah, elit politik, intelektual akademis, bahkan artis. Mereka menggunakan perpaduan bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Ambil contoh saja Presiden SBY saat berpidato kenegaraan, seringkali menggunkan perpaduan bahasa Indonesia dengan bahasa asing, misalnya kata asing option, stetmen, dll. Kemudian para artis selebritis Indonesia yang tak mau kalah lagi, misalnya seperti artis Cinta Laura dan Manohara, mereka menggunakan bahasa asing untuk memadukan bahasa Indonesia. yakni dengan kemapuan mereka dalam kedwibahasan (bilingual).
Penggunaan bahasa asing ini berdampak pada gejala interfrensi bahasa maksudnya penyimpangan  dari  norma-norma  bahasa dalam bahasa  yang  digunakan  sebagai  akibat  pengenalan  terhadap  bahasa  lain. Pada  satu  sisi  interferensi  dipandang  sebagai  “pengacauan karena merusak  sistem  suatu  bahasa,  tetapi  pada  sisi  lain  interferensi dipandang sebagai suatu             mekanisme yang paling penting dan dominan untuk mengembangkan suatu bahasa  yang  masih  perlu pengembangan.  Dengan interferensi, kosa kata bahasa resipien diperkaya oleh kosa kata bahasa donor, yang  pada  mulanya  dianggap  sebagai  unsur  pinjaman  tetapi  kemudian  tidak lag karen kos kat it tela berintegras menjad bagia dar bahasa resipien.  Integras merupakan unsur-unsu bahas lai yang digunakan dalam  bahasa  tertentu  dan  dianggap  sudah  menjadi  warga  bahasa tersebut, tidak sebagai unsur pinjaman atau pungutan.

Pengaruh Bahasa Asing Terhadap Hambatan Bahasa Indonesia
Bahasa Inggris, merupakan bahasa asing di negara Indonesia, mempunyai peranan besar bagi Indonesia itu sendiri. Pengaruh yang diberi pun beraneka ragam. Ada yang memberikan pengaruh positif dan tidak jarang juga ada yang meberikan pengaruh negatif.
Dengan keberadaan bahasa Inggris ( bahasa asing ) sebagai bahasa internasional, pendidikan indonesia mulai dari taman bermain sampai dengan universitas memiliki kurikulum dan pelajaran tentang bahasa Inggris. Ini dilakukan agar sumber daya manusia Indonesia dapat ikut andil dalam globalisasi dunia. Disamping pengaruh positif, bahasa asing berdampak negatif terhadap perkembangan anak. Cara pemakaian bahasa belakang ini yang sedang populer di semua kalangan adalah penggunaan bahasa campur aduk. Bahasa Indonesia dikombinasikan dengan bahasa asing. Banyak anak – anak sekarang yang merasa lebih percaya diri dan gaul jika menggunakan bahasa campur aduk tersebut. Ini jelas mengurangi kekaedahan dan keabsahan akan bahasa Indonesia yang menjadi bahasa persatuan itu sendiri.
Dampak negative masuknya bahasa asing antara lain:
1.    Generasi anak bangsa mulai mengentengkan/menggampangkan untuk belajar bahasa Indonesia.
2.    Rakyat Indonesia semakin lama kelamaan akan lupa kalau bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan.
3.    Anak-anak mulai menganggap rendah bacaan Indonesia.
4.    Lama kelamaan rakyat Indonesia akan sulit mengutarakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
5.    Mampu melunturkan semangat nasionalisme dan sikap bangga pada bahasa dan budaya sendiri.

Bahasa sebagai Upaya Pembentukan Karekter bangsa
Karakter sebuah bangsa merupakan merupakan jatidiri, nilai dan norma kehidupan yang menjadi landasan berpikir dan bertindak suatu bangsa. Karakter suatu bangsa juga menjadi cerminan dari karakter individunya. Indonesia di kenal dunia sebagai bangsa yang berkarakter santun, ramah dan penyabar. Hal itu terlihat jelas dalam prilaku dan tindakan serta bahasa keseharian rakyat Indonesia.
Karakter bangsa Indonesia seperti di sebutkan Susilo Bambang Yodhoyono pada sambutan seusai dilantik dilantik sebagai Presiden RI ke-7 pada 20 Oktober 2009, Pak SBY antara lain menyatakan : kita harus menjaga jati diri kita, ke-Indonesiaan kita. Hal yang membedakan bangsa kita dengan bangsa lain di dunia adalah budaya kita, way of life kita dan ke-Indonesiaan kita. Ada identitas dan kepribadian yang membuat bangsa Indonesia khas, unggul, dan tidak mudah goyah. Keindonesiaan kita tercermin dalam sikap pluralisme atau ke-Bhineka-an, kekeluargaan, kesantunan, toleransi, sikap moderat dan keterbukaan, serta rasa kemanusiaan.
Bahasa dari masa ke masa terus berkembang sesuai dengan dinamika dan nilai-nilai yang di anut oleh masyarakat. Bahasa akan menumbuhkan sikap peduli terhadap orang lain, sikap saling menghargai dan menumbuhkan nilai-nilai dan perilaku positif. Karena itu bahasa sangat berperan dalam membentuk karakter individu yang pada akhirnya akan mencerminkan karakter bangsa.
Bahasa menunjukkan bangsa. Lewat peribahasa ini, para leluhur kita menyatakan bahwa keadaban sebuah bangsa ditentukan oleh bahasa. Lewat bahasa, orang dapat mengetahui tingkat peradaban seseorang. Lewat bahasa, orang dapat mengetahui tingkat peradaban sebuah bangsa. Bangsa yang tidak memiliki bahasa dianggap tidak memiliki peradaban. Bangsa yang tidak memiliki bahasa sendiri tak akan mampu melestarikan nilai- nilai luhur warisan leluhurnya yang bermanfaat untuk menghadapi persaingan global yang semakin keras pada masa mendatang.
Atas dasar pemikiran inilah anak-anak muda pada 28 Oktober 1928 berkumpul di Jakarta untuk mengucapkan Soempah Pemoeda. “… Kami putra-putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Bahasa Indonesia dipilih menjadi bahasa persatuan, bukan bahasa Inggris yang sudah menjadi bahasa internasional, bukan pula bahasa Jawa yang dipakai sebagian besar penduduk Indonesia.
Kini bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa nomor tujuh terbesar di dunia, setelah bahasa Mandarin, Inggris, Hindi, Spanyol, Arab, dan Rusia. Jika Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand, dan Timor Timur juga dihitung, pemakai bahasa Indonesia cukup besar. Dengan jumlah pemakai bahasa yang cukup besar ini, bangsa Indonesia tak perlu minder menggunakan bahasa Indonesia. Dan untuk yang terakhir kalinya, mari kita teriakkan bersama dengan rasa bangga dan semangat Nasionalisme bahwa “AKU CINTA BAHASA INDONESIA”.
Terima kasih

Daftar Pustaka :
Chaer,   Abdul.   2007.   Kajian          Bahasa Struktu Internal Pemakaia dan Pemelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
http://pkp.sfu.ca/harvester2/demo/index.php/record/view/546332. Abdurrahman. 2008. Interferensi dan Integrasi. Hal 1-2.
http://www.blogger.com/feeds/2991661017634027304/posts/default. Fathur Rokhman. 2008. Kedwibahasaan dan Diglosia. Hal 1-5.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik, Jakarta: PT. Gramedia, cet. V.
Suryanto, Gatot. 2005.  Interferensi  Bahasa  Inggris  ke  dalam  Bahasa  Indonesia pada Novel Odah Karya Muhammad Diponegoro. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Rabu, 19 Januari 2011

<-> <->


Retorika “seni berbicara’
      Oleh : M. Sabbardi

Bismillahirrahmanirohim…
A.   Pangantar
Diantara karunia Tuhan yang paling besar bagi manusia ialah kemampuan berbicara atau berkomonikasi lisan. Kamampuan untuk mengungkapkan isi hatinya dengan bunyi yang dikeluarkan dari mulutnya. Serta dengan kemampuan inilah manusia dapat bercerita tentang suka-duka kehidupan, bercanda, usul, mengkritik, mengungkapkan rasa cinta, dll. Berbicara telah membedakan manusia dari makhluknya lainya. Kambing dapat mengembik, burung berkicau, macan dapat mengaung ini yang ia lakukan sebagai kemampuan alat komunikasi. Dengan berbicara, manusia mengungkapkan dirinya, mengatur lingkungannya, dan pada akhirnya menciptakan bangunan budaya insani. Meskipun demikian, banyak orang yang belum menyadari kelibihan ini, dan justru memegang kuat ungkapan “diam itu emas” dan lebih suka SMS dari pada berbicara, mungkin karena takut salah atau tidak PeDe, malu, janggung, dll.
Lama seebelum lambang-lambang tulisan digunakan, orang sudah menggunakan bicara sebagai alat komunikasi. Bahkan setelah tulisan ditemukan sekalipun, bicara tetap lebih banyak digunakan. Ada beberapa kelebihan bicara yang tidak dapat digantikan dengan tulisan. Bicara lebih akrab, lebih pribadi (personal), lebih manusiawi. Tidak mengherankan, bila “ilmu berbicara” telah dan sedang manjadi perhatian manusia.
Seaorang kopral kecil, veteran perang Dunia II berhasil naik manjadi kaisar Jerman. Dalam bukunya, Mein kampf, dengan tegas Hitler mengatakan bahwa keberhasilan disebabkan oleh kemampuan berbicara. Lebih lanjut Hitler berkata “Jede grosse Bewegung aur dieser Erde verdankt ihr wachsen den grossere rednern und nicht den grossen Schreibern (Setiap gerakan besar di dunia ini dikembangkan olah ahli-ahli pidato dan bukan oleh jago-jago tulisan).
      Banyak para tokoh orator pemimpin Negara, alim ulama, pengacara (advokat), karyawan marketing, sampai dengan karyawan salesmen yang menjajakan produknya yang ditawarkan, mereka mengunakan kemampuan bicara untuk mempengaruhi, mengajak, membujuk serta memprovokasi semata-mata guna menyampaiakan maksud tujuan atau keinginan dari pada pembicara. Barac Obama (Presiden Amerika) salah satu orang yang menggunakan kemampuan bicara, dia mampu menjadi pemimpin Amerika karena salah satu kelebihanya dalam berbicara yaitu mampu menyakinkan para rakyat Amerika bahwa dia yang terbaik sehingga ia terpilih menjadi Presiden Amerika. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh ahli orator lain seperti Ir. Soekarno, Suharto, Gus Dur, Megawait, dan Susilo Bambang Yudhoyono (Presisen Indonesia).
      Makanya bukan sebuah rahasia lagi, untuk dapat berbicara dengan baik dan benar agar lebih bermakana, maka diperlukan sebuah ilmu dan keterampilannya yang perlu dikuasai. Ilmu tersebut yaitu ilmu Retorika “seni berbicara” adalah alat untuk memperindah kata dalam berbicara. Dengan ilmu tersebut, tidak hanya kata-kata dalam berbicara yang didengarkan tetapi juga bagaimana caranya bicara mampu untuk dirasa.

B.   Berbicara di forum umum (anda menjadi pembicara), maka :
1.      Siapkan bahan bicara dengan baik dan cermat, sesuaikan dengan kegiatan, tema dan keadaan pendengar.
2.      bila perlu, tulislah pokok-pokok isi yang akan disampaiakan
3.      Berpakaian rapid an sopan.
4.      Awalilah bicara dengan salam dan bermuka manis/ceria. Tebarkan senyum secara wajar.
5.      kurangi gerakan tubuh yang berlebihan. Hadapi demam panggung dengan sikap positif.
6.      Kuasai audiens dengan sikap perhatian. Berikan apresiasi secara baik dan tepat kepada audies.
7.      tidak bersifat mencemooh, menghina atau menyinggung perasaan audien.
8.      Tidak mudah menunjukan rasa sentiment, jengkel, dan subjektif pribadi.
9.      Sampaikan dengan tenang, menguasai diri, sopan, dan memegang tata karma berbicara.
10.  Bila isi pembicaranya bersifat argument, maka sampaikan secara masuk akal dengan menyertai fakta-fakta yang kongkret.
11.  hindari menyampaikan permohonan maaf di awal bicra (sikap apologis) karena dapat menimbulkan apriori.
12.  akhiri pembicra dengan minta maaf dan mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak terkait.

C.   Pidato
      Kemampuan berbicara seseorang identik dengan kemampuan seseorang dalam berpidato di depan umum. Bagaimana pembicara (retorisa) mampu menyampaiakan informasi, pesan dan menyakinkan kepada audies. Apa beberapa jenis pidato dan pidato menutut tujuan dan cara penyampaiannya :
      Jenis pidato :
1.      Pidato Impromtu (serta merta), pidato dengan cara penyampaina tanpa ada persiapan dari orator.
2.      Pidato Manuskrip, pidato dengan cara penyampaian dengan membaca naskah.
3.      Pidato Memoritter, pidato dengan cara menghafal naskah yang telah disiapkan.
4.      Pidato Estempare, pidato dengan cara penyampaian dengan membawa catatan-catatan pokok yang penting.
      Tujuan pidato :
1.      Pidato Informatif, seperti ditunjukan namanya, bertujuan untuk menyampaikan informasi. Khalayak diharapkana mengetahui, mengerti dan menerima informasi. Seperti dijelaskan pidato Informatif mempunyai jenis : (1)Oral respon (laporan lisan):pidato laporan ilmiah, laporan panitia, laporan tahunan, laporan proyek dan sebagainya.(2) Informative Lectures (kuliah):ceramah, umum, presentasi di depan peserta konfrensi, penyajian makalah, pengajian. (3) Oral instruction(pengajaran): guru yang menjelaskan pelajaran, pemimpin yang membagi tugas kepada bawahan, dll.
2.      Pidato Persuasif adlaha pidato yang penyampaiannya bertujuan mengajak, membujuk dan mempengaruhi audien sesuai dengan kehendak pembicara(retoris).
3.      Pidato rekreatif adalah pidato yang mertujuan mengibur audies, guna menyegarkan dan mengembalikan semangat audiensi. Pidato rekreatif kecenderunagan berbau humor sehingga pendengar tertawa dan gembira.

Dalam berpidato seseorang retoris harus memperhatikan bagaimana cara memilih topic yang baik ?
1.      sesuai dengan latar belakang keahlian orator.
2.     
Tema : pendidikan
Topic : Pendidikan agama
Judul : Budi pekerti
 
menarik minat orator.
3.      menarik minat pendengar.                                                                 
4.      sesuai dengan latar belakang audiens.                                             
5.      batasi ruang lingkupnya.
6.      sesuai dengan waktu dan situasi
7.      ada bahan penunjang lainnya.
8.      judul yang dipilih harus relevan, profokatif dan singkat.

Membangun kepercacaan diri dalam berbicara :
  1. Yakin pada diri sendiri
* Ciri orang yang tidak percaya diri
- panas dingin
- berkeringat
- jantung berdetak kencang
- kaki tangan bergetar
- hilang ingatan
- bicara cepat agar cepat selesai
- pandangan tidak fokous

* Factor penyebab orang tidak percaya diri
-    tidak tahu apa yang dilakukan
-    karena akan dinilai
-    tidak siap dan lingkungan asing

  1. Mambangun Kreabilitas diri
Harga diri, martabat, wibawa dan keteladanan.
Untuk membangun kreabilitas diri
- Otoritas : mempunyai keahlian
- Good sendse : bersifat objektif
- Good karakrer : orator punya akhlak yang baik
- Good will : materi pembicara kepentingan pendengar.
- Dinamis ; semangat.

Cara menilai krebilitas diri sesorang
- catatan reputasi anda
- perkenalkan diri anda
- ucapan anda
- cara anda berkomunukasi
- pernyataan-pernyataan anda

3.    Prisip-prinsip anda berpidato
- kontak
- olah vokal :  jelas (artikulasi & volume), keberagaman
- ritma : stes , tempo.
- olah visual : ekspresi wajak, gerak tubuh.

D.   Prinsip membangun potensi retoris yang baik
1.  Persiapkan diri sebaik mungkin sebelum bicara
     ( pikirkan apa yang akan sisampaikan)
2.  Pelajari dengan siapa kita sedang berbicara
     ( status sosialnya, ekonomi, umur, pendidikan, ideologi, dll )
3.  Jika berbicara satu lawan satu, maka cermati prinsip berikut :
a. jabat tangan dengan mantap & tatap mata dengan wajar.
b. tanyakan kabar terlebih dahulu sebelum masuk pembicaraan. inti
c. gunakan bahasa tubuh yang tepat, hindari bahasa tubuh kontraproduktif.
d. sesuaikan volume suara dengan situasi dan kondisi
e. perbanyak senyuman dan bersikap antusias.
f. jika akan berpisah, ungkapkan bahwa pertemuan tersebut sangat mengesankan dan akan disambung lain waktu.

E. Penutup
Berbicara dengan memenfaatkan strategi akan menghasilkan buah bicara yang bernilai. Cemooh, kritikan dan makian akan sering dialami oleh orang yang asal bicara tanpa ilmu dan strategi. Perlu dipahami bahwa bicara tidak hanya didengar, namun juga dirasa. Maka bicara yang baik adalah bicara yang mampu mementingakan ”seni bicara “ dalam penyampaikannya.
Belajar, mulai dan bernilah. Maka kita Bisa. Semoga sekses. Amin....

Jumat, 17 Desember 2010

LINGUSTIK --> Ilmu Bahasa


1.      Hakikat dan Ciri-ciri Bahasa
Rangkuman
Sesungguhnya, para penyelidik hingga saat ini masih belum mencapai kesepakatan tunggal tentang asal-usul bahasa. Diskusi tentang asal-usul bahasa sudah dimulai ratusan tahun lalu, Malahan masyarakat linguistik Perancis pada tahun 1866 sempat melarang mendiskusikan asal-usul bahasa. Menurut mereka mendiskusikan hal tersebut tidak bermanfaat, tidak ada artinya karena hanya bersifat spekulasi.
Penelitian Antropologi telah membuktikan bahwa kebanyakan kebudayaan primitif meyakini keterlibatan Tuhan atau Dewa dalam permulaan sejarah berbahasa. Teori-teori ini dikenal dengan istilah divine origin (teori berdasarkan kedewaan/kepercayaan) pada pertengahan abad ke-18. Namun teori-teori tersebut tidak bertahan lama. Teori yang agak bertahan adalah Bow-wow theory, disebut juga onomatopoetic atau echoic theory Menurut teori ini kata-kata yang pertama kali adalah tiruan terhadap bunyi alami seperti nyanyian ombak, burung, sungai, suara guntur, dan sebagainya. Ada pula teori lain yang disebut Gesture theory yang menyatakan bahwa isyarat mendahului ujaran
Teori-teori yang lahir dengan pendekatan modern tidak lagi menghubungkan Tuhan atau Dewa sebagai pencipta bahasa. Teori-teori tersebut lebih memfokuskan pada anugerah Tuhan kepada manusia sehingga dapat berbahasa. Para ahli Antropologi menyoroti asal-usul bahasa dengan cara menghubungkannya dengan perkembangan manusia itu sendiri.
Dari sudut pandang para antropolog disimpulkan bahwa manusia dan bahasa berkembang bersama. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia menjadi homo sapiens juga mempengaruhi perkembangan bahasanya. Dengan kata lain, kemampuan berbahasa pada manusia berkembang sejalan dengan proses evolusi manusia. Perkembangan otak manusia mengubah dia dari agak manusia menjadi manusia sesungguhnya. Hingga akalnya manusia mempunyai kemampuan berbicara. Pembicaraan tentang asal-usul bahasa dapat dibicarakan dari dua pendekatan, pendekatan tradisional dari modern para ahli dari beberapa disiplin ilmu masing-masing mengemukakan pandangannya dengan berbagai argumentasi. Diskusi tentang hal ini hingga sekarang belum menemukan kesepakatan, pendapat mana dan pendapat siapa yang paling tepat.
Banyak definisi tentang konsep bahasa yang dinyatakan para ahli bahasa. Pada umumnya definisi tersebut berpendapat bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang bersifat arbitrer dan konvensional, merupakan lambang bunyi. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai ciri-ciri bahasa, yaitu (1) bahasa itu adalah sebuah sistem, (2) bahasa itu berwujud lambang, (3) bahasa itu berupa bunyi, (4) bahasa itu bersifat arbitrer, (5) bahasa itu bermakna, (6) bahasa itu bersifat konvensional, (7) bahasa itu bersifat unik, (8) bahasa itu bersifat universal, (9) bahasa itu bersifat produktif, (10) bahasa itu bervariasi, (11) bahasa itu bersifat dinamis, (12) bahasa itu bersifat manusiawi.

2. Hakikat Linguistik dan Cabang-cabang Linguistik
Rangkuman
Linguistik berarti ilmu bahasa. Kata linguistik berasal dari kata Latin lingua yang berarti bahasa. Orang yang ahli dalam ilmu linguistik disebut linguis. Ilmu linguistik sering juga disebut linguistik umum (general linguistic) karena tidak hanya mengkaji sebuah bahasa saja.
Ferdinand De Saussure seorang sarjana Swiss dianggap sebagai pelopor linguistik modern. Bukunya yang terkenal adalah Cours de linguistique generale (1916). Buku tersebut dianggap sebagai dasar linguistik modern. Beberapa istilah yang digunakan olehnya menjadi istilah yang digunakan dalam linguistik. Istilah tersebut adalah langue, language, dan parole.
Langue mengacu pada suatu sistem bahasa tertentu yang ada dalam benak seseorang yang disebut competence oleh Chomsky. Langue ini akan muncul dalam bentuk parole, yaitu ujaran yang diucapkan atau yang didengar oleh kita. Jadi, parole merupakan performance dari langue. Parole inilah yang dapat diamati langsung oleh para linguis. Sedangkan language adalah satu kemampuan berbahasa yang ada pada setiap, manusia yang sifatnya pembawaan. Pembawaan ini pun harus dikembangkan melalui stimulus-stimulus. Jika dikaitkan dengan istilah-istilah dari Ferdenand De Saussure, maka yang menjadi objek dalam linguistik adalah hal-hal yang dapat diamati dari bahasa yakni parole dan yang melandasinya yaitu langue.
Bagi linguis, pengetahuan yang luas tentang linguistik tentu akan sangat membantu dalam menyelesaikan dan melaksanakan tugasnya. Seorang linguis dituntut untuk dapat menjelaskan berbagai gejala bahasa dan memprediksi gejala berikutnya. Bagi peneliti, kritikus, dan peminat sastra, linguistik akan membantu mereka dalam memahami karya-karya sastra dengan lebih baik. Bagi guru bahasa pengetahuan tentang seluruh subdisiplin linguistik fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) akan sangat diperlukan. Sebagai guru bahasa, selain dituntut untuk mampu berbahasa dengan baik dan benar mereka juga dituntut untuk dapat menjelaskan masalah dan gejala-gejala bahasa. Pengetahuan tentang linguistik akan menjadi bekal untuk melaksanakan tugas tersebut.
Bagi penyusun kamus, pengetahuan tentang linguistik akan sangat membantu dalam menjalankan tugasnya. Penyusun kamus yang baik harus dapat memahami fonem-fonem bahasa yang akan dikamuskan, penulisan fonem tersebut, makna seluruh morfem yang akan dikamuskan, dan sebagainya. Para penyusur buku pelajaran tentu banyak membutuhkan konsep-konsep linguistik dalam benaknya. Buku pelajaran yang akan disusun harus menggunakan kalimat yang sesuai dengan tingkat pemahaman siswa yang akan membaca buku tersebut. Di samping itu mereka harus mampu menyajikan materi dengan kosakata dan kalimat yang tepat sehingga tidak terjadi kesalahpahaman. Linguistik akan sangat bermanfaat bagi mereka.
Sebagai sebuah gejala yang kompleks, bahasa dapat diamati atau dikaji dari berbagai segi. Hal ini melahirkan berbagai cabang linguistik. Berdasarkan segi keluasan objek kajiannya, dapat dibedakan adanya linguistik umum dan linguistik khusus. Berdasarkan segi keluasan objek kajiannya, dapat dibedakan adanya linguistik sinkronik dan diakronik. Berdasarkan bagian-bagian bahasa mana yang dikaji, dapat dibedakan adanya linguistik mikro dan makro yang sering juga diistilahkan dengan mikrolinguistik dan makrolinguistik. Berdasarkan tujuannya, dapat dibedakan antara linguistik teoritis dan linguistik terapan. Berdasarkan alirannya, linguislik dapat diklasifikasikan atas linguistik tradisional, linguistik struktural, linguistik trasformasional, linguistik generatif, linguistik relasional, dan linguistik sistemik. Di samping cabang-cabang linguistik di atas, Verhaar juga memasukkan pembahasan fonetik dan fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik sebagai cabang linguistik.

3.      Aliran-aliran Linguistik
Rangkuman
Sejarah linguistik yang sangat panjang telah melahirkan berbagai aliran-aliran linguistik yang pada akhirnya mempengaruhi pengajaran bahasa. Masing-masing aliran tersebut memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang bahasa sehingga melahirkan berbagai tata bahasa.
Aliran tradisional telah melahirkan sekumpulan penjelasan dan aturan tata bahasa yang dipakai kurang lebih selama dua ratus tahun lalu. Menurut para ahli sejarah, tata bahasa yang dilahirkan oleh aliran ini merupakan warisan dari studi preskriptif (abad ke 18). Studi preskriptif adalah studi yang pada prinsipnya ingin merumuskan aturan-aturan berbahasa yang benar.
Sejak tahun 1930-an sampai akhir tahun 1950-an aliran linguistik yang paling berpengaruh adalah aliran struktural. Tokoh linguis dari Amerika yang dianggap berperan penting pada era ini adalah Bloomfield. Linguistik Bloomfield berbeda dari yang lain. Dia melandasi teorinya berdasarkan psikologi behaviorisme. Menurut Behaviorisme ujaran dapat dijelaskan dengan kondisi-kondisi eksternal yang ada di sekitar kejadiannya. Kelompok Bloomfield menyebut teori ini mechanism, sebagai kebalikan dari mentalism.
Bloomfield berusaha rnenjadikan linguistik sebagai suatu ilmu yang besifat empiris. Karena bunyi-bunyi ujaran merupakan fenomena yang dapat diamati langsung maka ujaran mendapatkan perhatian yang istimewa. Akibatnya, kaum strukturalis memberikan fokus perhatiannya pada fonologi, morfologi, sedikit sekali pada sintaksis, dan sama sekali tidak pada semantik.
Tata bahasa tagmemik dipelopori oleh Kenneth L. Pike, Bukunya yang terkenal adalah Linguage in Relation to a United Theory of The Structure of Human Behaviour (1954). Menurut aliran Ini, satuan dasar dari sintaksis adalah tagmem (bahasa Yunani yang berarti susunan). Tagmem adalah korelasi antara fungsi gramatikal atau slot dengan sekelompok bentuk-bentuk kata yang dapat saling dipertukarkan untuk mengisi slot tersebut.
Linguistik transformasi melahirkan tata bahasa Transformational Generative Grammar yang sering disebut dengan istilah tata bahasa transformasi atau tata babasa generatif. Tokoh linguistik transformasi yang terkenal adalah Noam Comsky dengan bukunya Syntactic Structure (1957). Buku tersebut terus diperbaiki oleh Chomsky sehingga terlahir buku kedua yang berjudul Aspect of the Theory of Sintax.
Chomsky menyatakan bahwa setiap tata bahasa dari suatu bahasa merupakan teori dari bahasa itu sendiri. Syarat tata bahasa menurutnya adalah:
Pertama, kalimat yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus dapat diterima oleh pemakai bahwa tersebut sebagai kalimal yang wajar dan tidak dibuat-buat.
Kedua, tata bahasa tersebut harus berbentuk sedemikian rupa sehingga satuan atau istilah yang digunakan tidak berdasarkan pada gejala bahasa tertentu saja, dan semuanya harus sejajar dengan teori linguistik tertentu (Chaer, 1994).
Selain hal di atas konsep dari Chomsky yang populer hingga sekarang adalah istilah dan competence, dan performance. Competence adalah pengetahuan yang dimiliki pemakai bahasa mengenai bahasanya. Hal ini tersimpan dalam benak para pengguna bahasa. Sedangkan performance adalah penggunaan suatu bahasa dalam keadaan real (situasi sesungguhnya). Kedua konsep ini kiranya sejalan dengan konsep langue dan parole yang dikemukakan de Saussure.
Menurut teori semantik generatif, struktur sintaksis dan semantik dapat diteliti bersamaan karena keduanya adalah satu. Struktur semantik ini serupa dengan logika, berupa ikatan tidak berkala antara predikat dengan seperangkat argumen dalam suatu proposisi. Menurut teori ini argumen adalah segala sesuatu yang dibicarakan, predikat adalah semua yang menunjukkan hubungan, perbuatan, sifat, keanggotaan, dan sebagainva. Jadi, dalam menganalisis sebuah kalimat, teori ini berusaha untuk menguraikannya lebih jauh sampai diperoleh predikat yang tidak dapat diuraikan lagi.
Charles J. Fillmore dalam buku The Case for Case tahun 1968 yang pertama kali memperkenalkan tata bahasa kasus. Dalam bukunya ini Fillmore membagi kalimat atas (1) modalitas yang bisa berupa unsur negasi, kala, aspek, dan adverbia; dan (2) proposisi terdiri dari sebuah verba disertai dengan sejumlah kasus (Chaer, 1994). Pengertian kasus dalam teori ini adalah hubungan antara verba dengan nomina. Verba di sini sama dengan predikat, sedangkan nomina sama dengan argumen dalam teori semantik generatif. Hanya argumen dalam teori ini diberi label kasus. Dalam tata bahasa kasus dikenal istilah-istilah seperti agent (pelaku), experiencer (pengalami), object (objek, yang dikenai perbuatan), source (keadaan, tempat, waktu), goal (tujuan), dan referential (acuan).
Daftar Pustaka
  • Alwasilah, Chaedar. (1985). Linguistik Suatu Pengantar, Bandung: Angkasa.
  • -------------. (1993). Beberapa Madhab & Dikotomi Teori Linguistik, Bandung: Angkasa.
  • Chaer, Abdul. (1994). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
  • Verharr, J. W.M. (1993). Pengantar Linguistik Yogyakarta: Gajah Mada University.
  • -------------. (1996). Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University.



FONOLOGI DAN MORFOLOGI

1.      Fonetik dan Fonemik
Rangkuman
Fonetik merupakan cabang ilmu linguistik yang meneliti dasar fisik bunyi-bunyi bahasa, tanpa memperhatikan apakah bunyi tersebut berfungsi sebagai pembeda makna. Objek kajian fonetik adalah fon. Fonemik adalah cabang ilmu linguistik yang mengkaji bunyi bahasa sebagai pembeda makna. Objek kajian fonemik adalah fonem.
Alat-alat ucap yang digunakan untuk menghasilkan bunyi bahasa adalah paru-paru, pangkal tenggorokkan, rongga kerongkongan, langit-langit lunak, langit-langit keras, gusi, gigi, bibir, dan lidah.
Fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang fungsional atau dapat membedakan makna kata. Untuk menetapkan apakah suatu bunyi berstatus sebagai fonem atau bukan harus dicari pasangan minimalnya.
Alofon merupakan realisasi sebuah fonem. Alofon dapat dilambangkan dalam wujud tulisan atau transkripsi fonetik yaitu penulisan pengubahan menurut bunyi, dan tandanya adalah […]. Grafem merupakan pelambangan fonem ke dalam transkripsi ortografis, yaitu penulisan fonem-fonem suatu bahasa menurut sistem ejaan yang berlaku pada suatu bahasa, atau penulisan menurut huruf dan ejaan suatu bahasa.
Fonem dapat dibagi atas vokal dan konsonan. Pembedaan kedua fonem ini didasarkan ada tidaknya hambatan pada alat bicara. Sebuah bunyi disebut vokal apabila tidak ada hambatan pada alat bicara. Sebuah bunyi disebut konsonan apabila dibentuk dengan cara menghambat arus udara pada sebagian alat bicara.
Fonem yang berwujud bunyi disebut fonem segmental. Fonem dapat pula tidak berwujud bunyi, tetapi merupakan tambahan terhadap bunyi yaitu tekanan, jangka, dan nada yang disebut ciri suprasegmental atau fonem nonsegmental.
Asimilasi merupakan peristiwa berubahnya sebuah bunyi menjadi bunyi lain sebagai akibat dari bunyi yang ada di lingkungannya. Disimilasi yaitu perubahan dua buah fonem yang sama menjadi fonem yang berlainan. Kontraksi adalah pemendekan bentuk ujaran yang ditandai dengan hilangnya sebuah fonem atau lebih.



2.      Morfologi
Rangkuman
Morfologi atau tata kata adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari seluk-beluk pembentukan kata. Morfologi mengkaji seluk-beluk morfem, bagaimana mengenali sebuah morfem, dan bagaimana morfem berproses membentuk kata.
Morfem adalah bentuk bahasa yang dapat dipotong-potong menjadi bagian yang lebih kecil, yang kemudian dapat dipotong lagi menjadi bagian yang lebih kecil lagi begitu seterusnya sampai ke bentuk yang jika dipotong lagi tidak mempunyai makna. Morfem yang dapat berdiri sendiri dinamakan morfem bebas, sedangkan morfem yang melekat pada bentuk lain dinamakan morfem terikat.
Alomorf adalah bentuk-bentuk realisasi yang berlainan dari morfem yang sama. Morf adalah sebuah bentuk yang belum diketahui statusnya.
Untuk menentukan sebuah bentuk adalah morfem atau bukan, harus dibandingkan bentuk tersebut di dalam kehadirannya dengan bentuk-bentuk lain. Morfem utuh yaitu morfem yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Morfem terbagi yaitu morfem yang merupakan dua bagian yang terpisah atau terbagi karena disisipi oleh morfem lain.
Kata adalah satuan gramatikal bebas yang terkecil. Kata dapat berwujud dasar yaitu terdiri atas satu morfem dan ada kata yang berafiks. Kata secara umum dapat diklasifikasikan menjadi lima kelompok yaitu verba, adjektiva, averbia, nomina, dan kata tugas.
Dalam bahasa Indonesia kita kenal ada proses morfologis; afiksasi, reduplikasi, komposisi, abreviasi, metanalisis, dan derivasi balik. Afiksasi adalah proses yang mengubah leksem menjadi kata kompleks. Di dalam bahasa Indonesia dikenal jenis-jenis afiks yang dapat diklasifikasikan menjadi prefiks, infiks, sufiks, simulfiks, konfiks, dan kombinasi afiks.
Reduplikasi merupakan pengulangan bentuk. Ada 3 macam jenis reduplikasi, yaitu reduplikasi fonologis, reduplikasi morfemis, dan reduplikasi sintaktis. Reduplikasi juga dapat dibagi atas: dwipurwa, dwilingga, dwilingga salin swara, dwiwasana, dan trilingga.
Pemajemukan atau komposisi adalah proses penghubungan dua leksem atau lebih yang membentuk kata. Secara empiris ciri-ciri pembeda kata majemuk dari frasa adalah ketaktersisipan, ketakterluasan, dan ketakterbalikan.
Abreviasi adalah proses penggalangan satu atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga jadilah bentuk baru yang berstatus kata. Istilah lain untuk abreviasi ialah pemendekan, sedangkan hasil prosesnya disebut kependekan. Bentuk kependekan itu dapat dibagi atas singkatan, penggalan, akronim, kontraksi, dan lambang huruf,
Derivasi balik adalah proses pembentukan kata berdasarkan pola-pola yang ada tanpa mengenal unsur-unsurnya.
Daftar Pustaka
  • Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa dan Anton M. Moeliono, (1998). Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
  • Chaer, Abdul. (1994). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
  • Dik, Simon C. Functional Grammar. Amsterdam: North Holland Publishing Company.
  • Givon, Talmy. (1979). On Understanding Grammar. New York: Acade-mic Press.
  • Kridalaksana, Harimurti. (1986). Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
  • ---------- (1992). Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Lyons, John, (1968). Introduction to Theoretical Linguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Marsono. (1986). Fonetik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • Parera, J.D. (1988). Morfologi. Jakarta: Gramedia.
  • Quirk, Randolph dkk. (1985). A Comprehensive Grammar of the English Language. London: Longman.
  • Ramlan, M. (1983). Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: Karyono.
  • Robins, R.H., (1992), Linguistik Umum Sebuah Pengantar terjemahan Soenarjati Djajanegara General Linguistics. Seri ILDEP Ke-62. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
  • Samsuri. (1978). Analisa Bahasa. Jakarta: Erlangga.
  • Saussure, Ferdinand de, (1988), Pengantar Linguistik Umum. terjemahan Rahayu S. Hidayat Cours de Linguistique Generale. Seri ILDEP Ke-35. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • Spat, C. (1989). Bahasa Melayu: Tata Bahasa Selayang Pandang. terjemahan A. Ikram Maleische Taal: Overzicht van de Grammatica. Seri ILDEP, Jakarta: Balai Pustaka.
  • Sudarno. (1990). Morfofonemik Bahasa Indonesia. Jakarta: Arikha Media Cipta.
  • Verhaar, J. W. M. (1996). Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.








SINTAKSIS

1.      Pengertian Sintaksis dan Alat-alat Sintaksis
Rangkuman
Secara etimologi, sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti dengan dan tattein yang berarti menempatkan. Jadi, sintaksis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat.
Dalam setiap bahasa ada seperangkat kaidah yang sangat menentukan apakah kata-kata yang ditempatkan bersama-sama tersebut akan berterima atau tidak. Perangkat kaidah ini sering disebut sebagai alat-alat sintaksis, yaitu urutan kata, bentuk kata, intonasi, dan konektor yang biasanya berupa konjungsi.
Keunikan setiap bahasa berhubungan dengan alat-alat sintaksis ini. Ada bahasa yang lebih mementingkan urutan kata daripada bentuk kata. Ada pula bahasa yang lebih mementingkan intonasi daripada bentuk kata. Bahasa Latin sangat mementingkan bentuk kata daripada urutan kata. Sebaliknya, bahasa Indonesia lebih mementingkan urutan kata.

2.      Satuan Sintaksis dan Hubungan Antarsatuan Sintaksis
Rangkuman
Sintaksis memiliki unsur-unsur pembentuk yang disebut dengan istilah satuan sintaksis. Satuan tersebut adalah kata, frase, klausa, dan kalimat. Pembahasan kata dalam tataran sintaksis berbeda dengan pembahasan kata pada tataran morfologi. Dalam tataran sintaksis, kata merupakan satuan terkecil yang membentuk frase, klausa, dan kalimat. Oleh karena itu kata sangat berperan penting dalam sintaksis, sebagai pengisi fungsi sintaksis, penanda kategori sintaksis, dan sebagai perangkai satuan-satuan sintaksis. Kata dapat dibedakan atas dua klasifikasi yaitu kata penuh dan kata tugas.
Frase biasa didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang terdiri dari dua kata atau lebih dan tidak memiliki unsur predikat. Unsur-unsur yang membentuk frase adalah morfem bebas. Berdasarkan bentuknya, frase dapat dibedakan atas frase eksosentrik, frase endosentrik, dan frase koordinatif.
Klausa adalah satuan sintaksis berbentuk rangkaian kata-kata yang berkonstruksi predikatif. Di dalam klausa ada kata atau frase yang berfungsi sebagai predikat. Selain itu, ada pula kata atau frase yang berfungsi sebagai subjek, objek, dan keterangan.
Kalimat adalah satuan sintaksis yang terdiri dari konstituen dasar, yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan dan disertai intonasi final.

3.      Analisis Sintaksis
Rangkuman
Struktur kalimat dapat dianalisis dari tiga segi, yaitu segi fungsi, kategori, dan peran semantis. Berdasarkan segi fungsi, struktur kalimat dapat terdiri atas unsur subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan. Subjek biasanya didefinisikan sebagai sesuatu yang menjadi pokok, dasar, atau hal yang ingin dikemukakan oleh pembicara atau penulis. Predikat adalah pernyataan mengenai subjek atau hal yang berhubungan dengan subjek. Setelah predikat, biasanya diletakkan objek. Keberadaan objek sangat tergantung pada predikatnya. Jika predikatnya berbentuk verba transitif maka akan muncul objek. Namun, jika predikatnya berbentuk verba intransitif maka yang akan muncul kemudian adalah pelengkap. Unsur selanjutnya adalah keterangan, yaitu unsur kalimat yang berisi informasi tambahan. Informasi tersebut biasanya berhubungan dengan tempat, waktu, cara, dan sebagainya.
Kalimat dapat pula dianalisis berdasarkan kategorinya. Dalam tata bahasa tradisional, istilah kategori sering disebut dengan istilah kelas kata. Dalam bahasa Indonesia ada empat kategori sintaksis utama, yaitu: (a) Nomina atau kata benda, (b) Verba atau kata kerja, (c) Ajektiva atau kata sifat, dan (d) Adverbia atau kata keterangan.
Analisis yang ketiga adalah analisis sintaksis dari segi peran. Analisis ini berhubungan dengan semantis. Suatu kata dalam konteks kalimat memiliki peran semantis tertentu. Beberapa pakar linguistik menggunakan istilah yang berbeda untuk pembicaraan peran-peran dalam sintaksis, namun sebenarnya substansinya sama.
Daftar Pustaka
  • Alwi, Hasan dkk. (peny), (2000). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Chaer, Abdul. (1994). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
  • ----------------. (1994). Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Bhratara.
  • Parera, J.D. (1988). Sintaksis. Jakarta: Gramedia.
  • Verharr, J.W.M. (1978). Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
  • -----------------. (1980). Teori Linguistik dan Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.





SEMANTIK

1.      Pengertian dan Manfaat Semantik
Rangkuman
Semantik, baru banyak dibicarakan orang ketika Chomsky sebagai tokoh linguistik transformasi mengungkapkan pentingnya makna dalam linguistik, dan menyatakan bahwa semantik adalah bagian dari tatabahasa. Komunikasi berbahasa hanya dapat berjalan dengan baik jika para pelaku komunikasi memahami makna yang disampaikan. Untuk itu, studi tentang makna (semantik) sudah selayaknya diperhatikan.
Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema (katabenda) yang berarti tanda atau lambang. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti menandai atau melambangkan. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang di sini adalah tanda linguistik (signe) seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure, yaitu yang terdiri dari (1) komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Jadi, setiap tanda linguistik terdiri dari unsur bunyi dan makna. Keduanya merupakan unsur dalam bahasa (intralingual) yang merujuk pada hal-hal di luar bahasa (ekstralingual).
Pada perkembangannya kemudian, kata semantik ini disepakati sebagai istilah yang digunakan dalam bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. (Chaer, 1995).
Sebagai studi linguistik, semantik tidak mempelajari makna-makna yang berhubungan dengan tanda-tanda nonlinguistik seperti bahasa bunga, bahasa warna, morse, dan bahasa perangko. Hal-hal itu menjadi persoalan semiotika yaitu bidang studi yang mempelajari arti dari suatu tanda atau lambang pada umumnya. Sedangkan semantik hanyalah mempelajari makna bahasa sebagai alat komunikasi verbal.
Mengkaji makna bahasa (sebagai alat komunikasi verbal) tentu tidak dapat terlepas dari para penggunanya. Pengguna bahasa adalah masyarakat. Oleh karena itu studi semantik sangat erat kaitannya dengan ilmu sosial lain, seperti sosiologi, psikologi, antropologi, dan filsafat.

2.      Jenis-jenis Makna
Rangkuman
Pembicaraan tentang jenis makna dapat menggunakan berbagai kriteria atau sudut pandang. Berdasarkan jenis semantiknya, makna dapat diklasifikasikan atas makna leksikal dan gramatikal, berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna referensial dan nonreferensial, berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata dapat dibedakan adanya makna konotatif dan denotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal adanya makna kata dan istilah atau makna khusus dan umum. Agar lebih jelas Anda dapat memperhatikan tabel berikut ini.

SUDUT PANDANG
JENIS MAKNA
1. jenis semantik
makna leksikal dan gramatikal
2. referen
makna referensial dan nonreferensial
3. nilai rasa
makna konotatif dan denotatif
4. ketepatan makna
makna kata dan istilah
makna khusus dan umum

Makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem atau bersifat kata. Karena itu dapat pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai referennya, makna sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam hidup kita. Makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti afiksasi, reduplikasi, dan komposisi.
Referen, adalah sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh suatu kata. Bila suatu kata mempunyai referen, maka kata tersebut dikatakan bermakna referensial. Sebaliknya, jika suatu kata tidak mempunyai referen maka kata tersebut bermakna nonreferensial.
Sebuah kata disebut bermakna konotatif apabila kata itu mempunyai nilai rasa positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi atau disebut netral.
Makna denotatif sebenarnya sama dengan makna referensial. Makna ini biasanya diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi (penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan) atau pengalaman lainnya. Pada dua kata yang bermakna denotasi sama dapat melekat nilai rasa yang berbeda sehingga memunculkan makna konotasi.
Jika suatu kata digunakan secara umum maka yang muncul adalah makna kata yang bersifat umum, sedangkan jika kata-kata tersebut digunakan sebagai istilah dalam suatu bidang maka akan muncul makna istilah yang bersifat khusus. Istilah memiliki makna tetap dan pasti karena istilah hanya digunakan dalam bidang ilmu tertentu.

3.      Relasi Makna dan Perubahan Makna
Rangkuman
Relasi makna atau hubungan makna adalah hubungan kemaknaan antara sebuah kata atau satuan bahasa (frase, klausa, kalimat) dengan kata atau satuan bahasa lainnya. Hubungan ini dapat berupa kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonimi), kegandaan makna (polisemi), kelainan makna (homonimi), ketercakupan makna (hiponimi), dan ambiguitas.
Secara harafiah, kata sinonimi berarti nama lain untuk benda atau hal yang sama. Sedangkan Verharr secara semantik mendefinisikan sinonimi sebagai ungkapan (dapat berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain (Verhaar, 1981).
Sinonimi dapat dibedakan atas beberapa jenis, tergantung dari sudut pandang yang digunakan. Yang harus diingat dalam sinonim adalah dua buah satuan bahasa (kata, frase atau kalimat) sebenarnya tidak memiliki makna yang persis sama. Menurut Verhaar yang sama adalah informasinya. Hal ini sesuai dengan prinsip semantik yang mengatakan bahwa apabila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda, walaupun perbedaannya hanya sedikit. Selain itu, dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang bersinonim belum tentu dapat dipertukarkan begitu saja
Antonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno yang terdiri dari kata onoma yang berarti nama, dan anti yang berarti melawan. Arti harfiahnya adalah nama lain untuk benda lain pula. Menurut Verhaar antonim ialah ungkapan (biasanya kata, frase atau kalimat) yang dianggap bermakna kebalikan dari ungkapan lain.
Polisemi adalah satuan bahasa yang memiliki makna lebih dari satu. Namun sebenarnya makna tersebut masih berhubungan. Polisemi kadangkala disamakan saja dengan homonimi, padahal keduanya berbeda. Homonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu onoma yang berarti nama dan homos yang berarti sama. Jadi, secara harafiah homonimi dapat diartikan sebagai ‘nama sama untuk benda lain’. Secara semantis, Verhaar mendefinisikan homonimi sebagai ungkapan (kata, frase, atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain tetapi berbeda makna.
Kata-kata yang berhomonim dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu: Homonim yang: (a) homograf, (b) homofon, dan (c) homograf dan homofon.
Kata hiponimi berasal dari Yunani Kuno yang terdiri dari kata onoma ‘nama’ dan hypo’di bawah’. Secara harfiah hiponimi berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama lain (Verhaar, 1993). Secara semantis, hiponimi dapat didefinisikan sebagai ungkapan (kata, frase, ata kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna ungkapan lain.
Istilah ambiguitas berasal dari bahasa Inggris (ambiguity) yang menurut Kridalaksana berarti suatu konstruksi yang dapat ditafsirkan lebih dari satu arti (Kridalaksana, 1982).Ambiguitas dapat terjadi pada komunikasi lisan maupun tulisan. Namun, biasanya terjadi pada komunikasi tulisan. Dalam komunikasi lisan, ambiguitas dapat dihindari dengan penggunaan intonasi yang tepat. Ambiguitas pada komunikasi tulisan dapat dihindari dengan penggunaan tanda baca yang tepat. Makna-makna dalam bahasa Indonesia dapat mengalami perubahan makna, seperti perluasan makna, penyempitan makna, penghalusan makna, dan pengasaran makna.
Daftar Pustaka
  • Chaer, Abdul. (1990). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
  • ______. (1994). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
  • Djajasudarma, T. fatimah. (1993). Semantik I Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung: Eresco
  • Kridalaksana, Harimurti. (1988). Kamus Sinonim Bahasa Indonesia. Jakarta: Nusa Indah.
  • Pateda, Mansur. (1986). Semantik Leksikal. Ende Flores: Nusa Indah.
  • Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1994). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Slametmulyana. (1964). Semantik. Jakarta: Jambatan.
  • Soedjito. (1988). Kosakata Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
  • Verharr, J.W.M. (1993). Pengantar Linguistik I. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.



WACANA

1.      Pengertian Wacana
Rangkuman
Wacana adalah rangkaian ujaran lisan maupun tulisan yang mengungkapkan suatu hal, disajikan secara teratur (memiliki kohesi dan koherensi), dibentuk oleh unsur segmental dan nonsegmental bahasa.
Mempelajari wacana berarti pula mempelajari bahasa dalam pemakaian. Di samping itu, pembicaraan tentang wacana membutuhkan pengetahuan tentang kalimat dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kalimat.
Untuk mencapai wacana yang kohesi dan koherensi diperlukan alat-alat wacana. Baik yang berupa alat gramatikal , aspek semantik, atau gabungan keduanya. Alat-alat gramatikal yang dapat digunakan agar suatu wacana menjadi kohesi, antara lain adalah (a) konjungsi, (b) kata ganti dia, nya, mereka, ini, dan itu sebagai rujukan anaforis, (c ) menggunakan elipsis (Chaer, 1994).
Penggunaan aspek semantik juga dapat dilakukan agar suatu wacana menjadi kohesi dan koherensi. Menurut Chaer hal ini dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: (1) menggunakan hubungan pertentangan antarkalimat, (2) menggunakan hubungan generik-spesifik atau sebaliknya spesifik-generik, (3) menggunakan hubungan perbandingan antara dua kalimat dalam satu wacana, (4) menggunakan hubungan sebab akibat antara dua kalimat, (5) menggunakan hubungan tujuan dalam satu wacana, dan (6) menggunakan hubungan rujukan yang sama pada dua kalimat dalam satu wacana.

2.      Jenis-jenis Wacana
Rangkuman
Wacana dapat dikaji dari segi eksistensinya (realitasnya), media komunikasi, cara pemaparan, dan jenis pemakaian. Menurut realitasnya, wacana dapat digolongkan atas wacana verbal dan nonverbal. Berdasarkan media komunikasinya, wacana dapat diklasifikasikan atas wacana lisan dan tulisan. Berdasarkan cara pemaparannya, wacana dapat digolongkan atas wacana naratif, deskriptif, prosedural, ekspositori, dan hortatori. Sedangkan dari segi jenis pemakaiannya, wacana dapat kita klasifikasikan atas wacana monolog, dialog, dan polilog. Jenis-jenis wacana tersebut dapat ditabelkan seperti di bawah ini.
SUDUT PANDANG
JENIS WACANA
Eksistensi/realitas
verbal
nonverbal
Media Komunikasi
lisan
tulisan
Cara Pemaparan
naratif
deskriptif
prosedural ekspositori
hortatori
Jenis Pemakaian
monolog
dialog
polilog

3.      Analisis Wacana
Rangkuman
Dalam studi wacana kita tidak hanya menelaah bagian-bagian bahasa sebagai unsur kalimat, tetapi juga harus mempertimbangkan unsur kalimat sebagai bagian dari kesatuan yang utuh. Di Eropa penelitian wacana dikenal sebagai penelitian texlinguistics atau textgrammar. Para sarjana Eropa tidak membedakan teks dari wacana; wacana adalah alat dari teks (Djajasudarma, 1994).
Analisis wacana dapat dilakukan pada wacana dialog maupun monolog. Analisis wacana dialog atau wacana percakapan dapat dibagi dua macam, yaitu analisis pada dialog sesungguhnya (real conversation) dan dialog teks. Analisis wacana pada dialog sesungguhnya adalah analisis pada percakapan spontan yang ditunjang dengan segala situasinya, dialog jenis ini dilakukan dengan cara tatap muka. Selain itu, percakapan di sini bukan merupakan percakapan imitasi atau hafalan dari suatu teks seperti drama.
Analisis pada dialog teks adalah analisis pada percakapan imitasi. Percakapan imitasi terjadi jika suatu teks dilatihkan sebagai bahan percakapan, seperti teks drama, film, dan percakapan lain yang dituliskan. Dialog jenis ini pun memerlukan tatap muka. Namun, kalau teks itu tidak dipercakapkan maka tatap muka tidak diperlukan.
Menurut Jack Richard dalam Syamsudddin dkk., hal-hal pokok yang harus menjadi perhatian analisis wacana dialog, yaitu aspek : 1) kerjasama partisipan percakapan, 2) tindak tutur, 3) penggalan pasangan percakapan, 4) pembukaan dan penutupan percakapan, 5) pokok pembicaraan, 6) giliran bicara, 7)percakapan lanjutan, 8) unsur tatabahasa percakapan, dan 9) sifat rangkaian percakapan.
Bentuk bahasa lisan atau tulisan yang tidak termasuk dalam lingkup percakapan atau tanya jawab digolongkan sebagai jenis wacana monolog. Yang termasuk jenis ini antara lain, pidato, dan khotbah, yang dituliskan. Selain itu juga berita yang tertuang dalam bentuk teks seperti surat kabar, sepucuk surat, dan lain-lain. Analisis wacana ini sebenarnya banyak kesamaannya dengan analisis dialog. Namun, pada wacana monolog tidak ada aspek: tatap muka, penggalan pasangan percakapan, dan kesempatan berbicara.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis wacana monolog adalah hal-hal yang berhubungan dengan (1) rangkaian dan kaitan tuturan (cohesions and coherents) (2) penunjukan atau perujukan (references), dan (3) pola pikiran dan pengembangan wacana (topic and logical development).
Daftar Pustaka
  • Chaer, Abdul. (1994). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
  • Djajasudarma, Fatimah. (1994). Wacana ( Pemahaman dan Hubungan Antarunsur), Jakarta: Eresco.
  • Richard, Jack C. (1982). On Conversation. SEAMEO Regional Language Center. Occasional Paper No. 25. Singapore.
  • Searle, J. (1972). “What is a Speech Act”, dalam Syamsuddin dkk. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Syamsuddin A.R.dkk. (1998). Studi Wacana Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Tarigan, Henry Guntur. (1987). Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.



MASYARAKAT BAHASA DAN VARIASI BAHASA

1.      Masyarakat Bahasa
Rangkuman
Corder dalam Alwasilah menyatakan bahwa suatu masyarakat bahasa atau masyarakat ujaran adalah sekelompok orang yang satu sama lain bisa saling mengerti sewaktu mereka berbicara. Sedangkan Fishman menyatakan suatu masyarakat bahasa adalah satu masyarakat yang semua anggotanya memiliki bersama paling tidak satu ragam ujaran dan norma-norma untuk pemakaiannya yang cocok. Dari definisi ini jelaslah bahwa persetujuan dari para anggota masyarakat suatu bahasa tentang penggunaan kata-kata untuk merujuk pada makna tertentu sangat memegang peranan penting. Dalam definisi Fishman malah ditambahkan tentang kesamaan norma-norma dalam pemakaiannya. Jika ada penutur yang tidak menggunakan norma-norma pemakaian bahasa tersebut maka kemungkinan besar penutur tersebut akan sulit berkomunikasi dalam masyarakat itu.
Pada prinsipnya menurut Alwasilah, masyarakat bahasa itu terbentuk karena adanya saling pengertian, terutama karena adanya kebersamaan dalam kode-kode linguistik (seperti sistem bunyi, sintaksis, dan semantik). Hal senada juga dikemukakan oleh Bloomfield yang menyatakan bahwa sekelompok orang yang menggunakan sistem tanda-tanda ujaran yang sama disebut satu masyarakat bahasa
Sekarang, jika pedoman yang digunakan untuk menentukan masyarakat bahasa adalah segi sosial psikologi “merasa menggunakan bahasa yang sama”, maka konsep masyarakat bahasa dapat menjadi luas atau sempit. Masyarakat bahasa Inggris akan sangat luas, melewati batas benua.
Keadaan masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika memungkinkan masyarakatnya menjadi anggota masyarakat bahasa ganda. Maksudnya, selain menjadi anggota masyarakat bahasa Indonesia, pada umumnya orang Indonesia pun menjadi

2.      Variasi Bahasa
Rangkuman
Masyarakat sebagai pengguna bahasa terdiri atas berbagai anggota yang memiliki berbagai latar belakang. Baik latar belakang usia, jenis kelamin, pendidikan, maupun pekerjaan. Setiap anggota masyarakat tersebut tentu saja melakukan kegiatan yang beragam pula. Atau secara sederhana dapat dikatakan kita semua memiliki urusan masing-masing.
Keberagaman latar belakang dan kegiatan kita sebagai anggota masyarakat akhirnya berdampak pula pada keragaman bahasa yang kita gunakan sebagai alat komunikasi. Cabang linguistik yang berusaha menjelaskan ciri-ciri variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri-ciri variasi bahasa tersebut dengan ciri-ciri sosial kemasyarakatan adalah Sosiolinguistik.
Ada dua pandangan untuk melihat hal variasi bahasa. Pertama, variasi bahasa dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa. Andaikata penutur bahasa itu adalah kelompok yang homogen, baik etnis, status sosial maupun lapangan pekerjaannya, maka variasi itu tidak akan ada, artinya bahasa menjadi seragam.
Banyak pakar linguis mencoba untuk membedakan variasi bahasa dengan menggunakan berbagai sudut pandang. Di antaranya adalah Preston dan Shuy (1979) yang membedakan variasi bahasa (bahasa Inggris Amerika) berdasarkan (1) penutur, (2) interaksi, (3) kode, dan (4) realisasi. Sedangkan Mc David (1969) membagi variasi bahasa berdasarkan (1) dimensi regional, (2) dimensi sosial, dan (3) dimensi temporal (Chaer, 1995).
Berdasarkan segi penutur, variasi bahasa dapat dibedakan atas idiolek, dialek, kronolek, dan sosiolek. Berdasarkan segi pemakaian atau fungsiolek, variasi bahasa dapat dibedakan atas bahasa sastra, jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, dan kegiatan keilmuan. Berdasarkan tingkat keformalannya Martin Joos dalam Chaer membagi variasi bahasa atas lima macam, yakni ragam beku, ragam formal, ragam konsultatif atau usaha, ragam santai (casual), dan ragam akrab (intimate). Berdasarkan segi sarananya, variasi bahasa dapat dibedakan atas ragam lisan dan tulisan.
Daftar Pustaka
  • Alwasilah, Chaedar. (1985). Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa.
  • ________. (1985). Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.
  • Chaer, Abdul. (1994). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
  • ________. (1995). Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
  • Kayam, Umar. Seribu Kunang-Kunang di Manhattan (Kumpulan Cerpen). Jakarta:Grafiti.
  • Nababan, P.W.J. (1986). Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
  • Pateda, Mansoer. (1994). Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.